Monday, November 12, 2018

Buletin LAZ Al-Ikhlas



KATA  PENGANTAR


Assalamu’alaikum  wr. Wb

Biaya sekolah yang mahal menjadi berita yang traumatik bagi warga yang tidak mampu, walau mereka sadar mengikuti pendidikan menjadi bagian hak setiap warga negara. Tapi, ketidakberdayaan akibat masih bergelut dengan kemiskinan.
Salah satu ajaran islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulangan kemiskinan, baik kemiskinan fisik maupun kemiskinan mental dalam bentuk pendidikan dengan cara mengoptimalakan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq, dan shodaqoh.
Mari kita berdayakan umat islam dengan menunaikan Zakat.

Wassalamu’alaikum  wr. W
1 Rabiul Awal 1440 H
10 November 2018 M

Pengurus LAZ Al-Ikhlas.
Pembina:Ketua MushallaAl IkhlasSulistiarso
Kamsi Setyonugroho
Ketua : Amiroedin Noeridin,
Dewan Syariah :  Bambang Purnomo,
Keuangan&Adm : Eis Guruh Purwati,
Pengumpul : Abdul Khalim Anas,




TANYA   JAWAB  ZAKAT



Ustadz, saya masih bingung cara menghitung zakat mal, selama ini saya hanya menghitung zakat profesi 2,5% dari gaji bersih suami. kemudian saya hitung tabungan di bank bulan Juli tahun lalu, setelah di total, telah mencapai nisab. apakah saya harus mengeluarkan zakat mal, padahal telah menge-luarkan zakat profesi tiap bulan?
Lalu untuk tabungan yang bulan Agustus tahun lalu, jika di total juga telah mencapai nisab, apakah bulan Agustus tahun ini harus mengeluarkan zakat mal kembali? Karena jumlah tabungan umumnya bertambah, dan sudah pasti mencapai nisab.
Mohon penjelasannya
Jawab:
Wa’alaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuh
Semoga Allah swt senantiasa mencu-rahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.
Pertama: para ulama sepakat bahwa seseorang yang memiliki harta simpanan yang telah mencapai nishab dan genap tersimpan selama satu tahun wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun, nilai zakatnya adalah 2,5 persen dari seluruh harta simpanan yang telah genap tersimpan satu tahun.
Kedua: Apabila seseorang telah mengeluarkan zakat penghasilan dan sebagian dari penghasilannya ia tabung

Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
Sebagian ulama, seperti syaikh Yusuf Al-Qardhawi, berpendapat bila seseorang telah mengeluarkan zakat penghasilan pada saat menerima maka ia tidak menzakati lagi di akhir tahun khusus untuk penambahan pada tahun itu.
Adapun yang tidak termasuk penambahan pada tahun itu, harta simpanan dari semenjak tahun lalu, wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun. Sedangkan penambahan tabungan itu akan terkena zakat ketika sudah berada pada tahun kedua.
Pendapat pertama ini merujuk pada pandangan ulama hanafiah; Apabila seorang petani yang sudah menzakati hasil pertanian mereka lalu mereka menjual hasil pertanian tersebut dan menyimpannya hingga setahun, maka pada tahun pertama tidak terkena zakat atas harta simpanan itu. Zakat akan terkena pada tahun yang kedua.
Sedangkan ulama yang lainnya yang berpendapat bahwa apabila seseorang telah mengeluarkan zakat penghasilan maka ia tetap terkena zakat atas tabungannya dan dana simpnanannya.
Padangan yang kedua ini berdasarkan pada prinsip bahwa setiap yang telah tersimpan satu tahun wajib dikeluarkan zakatnya, walau sebelumnya berasal dari pertanian yang telah dikeluarkan zakatnya.

Ust. Abdul Rochim, LC. MA




SEKITAR KITA



Kaum urban yang memasuki ibukota Jakarta berbagai kelompok. Ada satu keluarga lengkap menuju Jakarta berbekal niat untuk hidup di ibu kota tanpa bekal keterampilan.
Berkembangnya waktu, saat ini tinggal kakak beradik 4 orang sudah berkeluarga semua tinggal berpindah-pindah kontrakan rumah berdekatan. Yang paling tua adalah ibu  Tumirah, 53 thn, menikah umur 24 thn dikaruniai 1 anak Rangga.
bu Tumirah bersama ke dua adiknya, Trisno dan Jarwo tinmggal dirumah kontrakan sekitar Mushalla Al-Ikhlas bersama keluarganya masing-masing. Mereka buruh kasar dengan pendapatan rendah, mereka mendapat Zakat bulanan dari LAZ Al-Ikhlas. Mereka pasien aktive di Klinik Al Ikhlas. Bu Tum indikasi TBC sedang kita fasilitasi untuk berobat ke Puskesmas.
Rangga sudah menikah dengan 1 anak, sudah berpisah dengan anak dan istrinya, saat ini tinggal bersama bu Tumirah saja, karena suami bu Tum  sudah meninggalkan mereka.
Untuk menunjang hidupnya bu Tum penghasilannya dari upah buruh nyuci di tetangga dan bantuan dari LAZ.
Bu Tum aktive mengikuti pengajian rutin di Mushalla,
Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka.
Aamiin Yaa Rabbal Aalamin.


PROGRAM  ZAKAT


Bulan Muharram dan Shafar 1440 H atau bulan Oktober  2018 dan November  2018, telah dilakukan kegiatan.
1.  PENYALURAN ZAKAT, 
a. Fakir Miskin terdiri dari untuk
 Pendidikan dan Dhuafa

  
Ribuan rupiah
     KET
SD
SLTP
SLTA

     Zakat/siswa
75
75
100

     Juml siswa
17
16
13

Fakir 9 orang @ Rp. 170.000
Miskin 22 orang @ R. 120.000


   b.  Fisabilillah dan Amil

Ustad Pengajian Ahad & Sabtu, guru ngaji Qur’an, guru ngaji anak-anak serta guru PAUD disamping diberikan Infaq  juga mendapat Zakat

Petugas Amil Zakat, 2 orang.


   c.  Pemberdayaan umat 2 bln
Pada bulan laporan ada 2 jamaah  yang meminjam uang, untukpendidikan anaknya

2.  PENYALURAN INFAQ,
Operasional Mushalla
Rutin a.l.listrik, Pengisi Pengajian,  operasional  PAUD,   bahan dan petugas pemeliharaan  Mushalla, Imam rutin.
-  Infaq petugas Klinik dan beberapa anak Yatim
- Pemeliharaan dan Perbaikan berkala  Mushalla

   3. KLINIK KESEHATAN GRATIS

Klinik Kesehatan Al-Ikhlas dengan dr Susasti, dr Winna, dr Rara, jika ada yang sakit mata, dr Nur Intan SpM siap melayani. Dalam 2 bulan terakhir ini pasien cukup banyak yang berobat di Klinik Al-Ikhlas setiap hari Ahad pukul 14.30 sd 17.30 wib.

PENYALURAN ZAKAT
Penyaluran Zakat tiap bulan yang selama ini dilaksanakan bada Pengajian Keluarga hari Ahad jam 07.00
Sejak bulan Shafar lalu, sekalian mengajak jamaah untuk shalat Fardhu berjamaah di Mushalla 5 waktu, maka program Penyaluran Zakat dilaksanakan ba’da shalat Subuh berjamaah, hal ini dapat menumbuhkan kesadaran shalat berjamaah di Mushalla.


.AGENDA
·     Pengajian Keluarga Ahad  Pagi,
Pengajian Ibu-ibu Sabtu siang, 
Bapak-bapak belajar Tajwid Rabu ba’da Maghrib.
·     Layanan Klinik Kesehatan Gratis dilaksanakan tiap Ahad sore.
·     Secara Rutin Bulanan disalurkan Zakat untuk pemberdayaan umat, pendidikan, fakir, miskin,
·     Pengumpulan ZIS dilaksanakan di Pos Zakat di Mushalla Al-Ikhlas, atau jemput zakat  silahkan baca Rubrik CARA MUDAH BAYAR ZAKAT, pada  Buletin ini.
Jadual penyaluran ZIS rutin
Hari Sabtu
22  Rab Awal ‘40H = 1 Des ‘18M
20 Rab Akhir ‘40H  = 29 Des ‘18




Daftar Muzakki dan Laporan Keuangan

DAFTAR  MUZAKKI MUHARAM SHAFAR 1440 H









Penyaluran kepada Mustahik dan CARA MUDAH BAYAR ZAKAT











Total Penyaluran ZIS Shafar 1440 H Rp. 9.050.000




Kegiatan dalam Photo


Klinik Kesehatan Al-Ikhlas

























PENYALURAN  ZAKAT










Wednesday, October 24, 2018

8 Golongan Asnaf



8 Golongan Asnaf yang Layak Menerima Zakat
emyuenampuluhtujuh ( Yunazsixtisevent )
Firman Allah swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:

60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
1. Fakir (al Fuqara) – adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
I. Fakir (al Fuqara)

adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Bagaimana menurut Al-Quran ?.
Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata “Faqara” yang artinya orang yang patah tulang belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu, karena miskin. Atau orang yang papa dan termiskin.
Kata Miskin, juga berasal dari Bahasa Arab “Sakana” yang berarti diam, tidak banyak bergerak, karena miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.
Dalam Ilmu Fikih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai gambaran orang yang lemah dan perlu di tolong.
Menurut salah satu ayat dalam Surah Al-Ma’un, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat masih dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.
Bahkan makna Pendusta agama itu, diantaranya orang yang “ WALA YAHUDDHU… “( Orang yang tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin ).
Menurut ulama Tafsir WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari dan tidak menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka yang hidupnya menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang uang dan harta, maka yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan jalan menganjurkan atau ikut Tim yang dapat mengentaskan orang-orang Miskin.
Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi makan orang-orang miskin diserkelilingnya.
II. Miskin (al-Masakin)
mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
19. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[1417].
[1417] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
Hak orang miskin:
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).
Hal ini dipahami, nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya milik kita, sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian kecil didalamnya kepunyaan orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan sendiri, kita dianggap termasuk kelompok perampas hak orang miskin. Agama mewajibkan kita memberikan sebagian kepada mereka yang miskin. Tidak banyak. Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 – 2O % pertahun. Tapi sebagian mufasir menganjurkan, setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan juga seketika, karena ditafsirkan masuk kelompok “ghanimah ” (rezeki mendadak), semacam honor atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan sebagian negeri-negeri Islam di Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.
Jika kita berpikir rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya (aghniya) , sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu misalnya dari pelabuhan ke gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau diekspor. Sebab itu wajar juga, jika memperoleh bahagian kecil.
Alhasil, pemberian yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya sendiri, lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].

[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.
Harta bertambah:
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin bertambah. Al-Quran menyebutnya “WAYURBI SHADAQAT “(Allah menghancurkan sistem riba dan mengembangbiakkan sedekah) (QS.2: 276)
Untuk membuktikan kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang pengusaha sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit, justru diperintahkan kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya kepada orang-orang miskin. Apa yang terjadi ?. Dalam waktu yang relative singkat, uang yang dibagikan itu terganti, mebihi dengan yang telah disedekahkan.Boleh dicoba asal ikhlas.
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan dianjurkan Al-Quran “WASHALLI ALAIHIM…
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
(Berdoalah untuk mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 : 1O3).
Berdasarkan ayat tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian hartanya dan masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah rezekinya para penyumbang.
Untuk menghidari kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti bulan Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan didatangi, tapi mendatangi. Salah satu makna “Atu al-zakat ” dalam Al-Quran berarti proaktif pergi ke lokasi membagi. Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin, tapi tidak pergi minta-minta), karena malu sehingga wajib bagi amil mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang benar.
Akhirnya, makna menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi karena Islam mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus membantu pemerintah. Bantuan “ aghniya ” sesuai keikhlasan. Minimal sama kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara 2,5 % sampai 2O % ).Tapi bantuan yang lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah membantu yang produktif. Hal itu ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah statusnya menjadi pemilik. Dan bantuan berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.
Bantuan muslim yang berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga semua muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat Rasulullah SAW.

Untuk menghindari pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke gubuk orang miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.

III. Amil
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi]], penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.

Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13.5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahiq lain.
Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang ataupun barang.
Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.
Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para mustahiq, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahiq.
IV. Mu’allaf
Mu’allaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60 disebutkan bahwa para mu’allaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat.

Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:

1. Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
2. Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
3. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun materiil.
V. RIQAB
Secara bahasa riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk (leher bagian belakang), seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena nilai anggota ini yang berharga, kata raqabah digunakan secara mutlak dengan makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba sahaya yang dimiliki oleh seseorang, dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang berakad dengan majikannya untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.
Riqab berhak menerima zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus ditunaikannya kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus dirinya dari majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.
Apakah tawanan muslim termasuk riqab?
Atau dengan kata lain, bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir?
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk membebaskan tawanan muslim karena:
1- Membebaskan tawanan dari penawanan tidak berbeda dengan memerdekakan hamba sahaya dari penghambaan.
2- Harta yang dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan untuk gharim agar terbebas dari belitan hutang.
3- Bahwa ayat hadir dengan kata riqab mencakup hamba sahaya, mukatab dan tawanan.
Pos riqab untuk membantu bangsa muslim yang terjajah
Pendapat pertama: disyariatkan. Pendapat kedua: tidak disyariatkan.
Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya dibandingkan dengan penghambaan dalam skala pribadi.
Pendapat kedua berdalil: dicaploknya(dikuasainya-ed) negeri Islam oleh orang-orang kafir tidak termasuk ke dalam makna riqab, tidak dari sisi bahasa dan tidak pula dari sisi syara’.
Tarjih: Pendapat kedua adalah pendapat yang rajih berdasarkan:
1- Tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa membebaskan suatu bangsa dari penjahahan termasuk ke dalam makna riqab.
2- Tidak adanya hajat untuk itu, karena masih ada pos-pos lain untuk menopang tujuan tersebut, bisa dari pos fi sabilillah atau dari pos lainnya dari Baitul Mal. Wallahu a’lam.
VI. Gharimin
Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan:
• Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
2. Utang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

• Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
• Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
• Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.

Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.
KRITERIA GHÂRIMIN PENERIMA ZAKAT

Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yang berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan kewajibannya. Karena, mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin dan si kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan antara yang kaya dan yang miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang tidak meminta-minta)”. [adz-Dzariyât/51:19]
Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yang terlilit hutang). Namun penerima zakat yang satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan ketamakan. Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak berpikir untuk melakukan tindakan negatif.. Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman karena sudah melaksanakan syari’at dengan benar dan akan mendapatkan limpahan do’a dari si miskin. Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih terpaksa melakukan kejahatan.

DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya [1].
Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzîr) [2].
Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yang berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.
FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG

Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.
I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima zakat, yaitu mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal atau berobat dsb.
Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi diri dan keluarganya atau untuk berpakaian.”[3]
Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir). Inilah yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :
وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk hidup”.[4]

Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :
Pertama : pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan mereka tidak berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu adalah hutang yang berkaitan dengan (hak) manusia, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat atau zakat yang tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua : Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari baitul mal untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yang paling berhak untuk dibayar.
Pendapat yang râjih, wallahu A’lam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila seseorang tidak mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas. sehingga bagi yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan orang yang tidak mampu bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tidak mampu. Oleh karenanya uang zakat tidak diberikan untuk membayar kafarat-kafarat tersebut.[5]
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dengan uang zakat ?
Dalam masalah ini Ulama’ berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah. Sedangkan yang membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah dan dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yang rajah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhâri :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ }فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia dan akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) ” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” [6], maka mukmin manapun yang mati dan meninggalkan harta maka ahli warisnya yang mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang hilang maka hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya”.[7]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yang menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat yang menolak memasukkan mayit sebagai al-ghârim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]
II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang berjiwa sosial dan dermawan untuk berupaya memadamkan api permusuhan dengan menjadi penengah. Terkadang upaya yang dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.
Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yang berhutang untuk mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku atau dua orang yang berselisih, lalu hutang tersebut digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].
Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan hartanya untuk membantu saudara seiman yang tertimpa bencana atau musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, “Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat.” [10]
Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh menerima zakat walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr mengatakan, “Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah, Syâfi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan para pengikut mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya.” [11] Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
“Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang yang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang membeli barang zakat dengan hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya”. [12]
Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).”[13]
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.

3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr dan boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Saya tidak pernah mendapati satu pendapat ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang yang terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari sebagian kecil Syâfi’iyyah, seperti al-Hanathi dan ar-Râfi’y, yang memandang mereka boleh diberi karena Ghârim.[14].

Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan korban. Karena termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.[15]
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan sebagian hanabilah memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha untuk melunasinya (sendiri). [16]

5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ
“Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak halal untuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [18]

6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih rahimahullah berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.”[19]
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. [20]
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul mal boleh mengeluarkan zakat untuk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu tahun maka tidak berhak menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang memberikan hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A’lam. [21]
7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat, namun dianggap sebagai nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga untuk keluarganya. Orang-orang yang termasuk dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak dan keturunannya dan Bapak serta kakek keatas. [22]

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang yang harus dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim hanya sebatas untuk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat untuk menutup hutangnya walaupun sangat banyak”[23]
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, “Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat” [24]
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim pada seseorang, maka boleh baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. [25]
Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan menumbuhkan semangat dalam bersedekah tidak hanya di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu a’lam
AL-GHARIMIN (ORANG YANG MENANGGUNG HUTANG)
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

MARILAH kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh keyakinan dan keikhlasan dengan melakukan segala suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi insan yang bertakwa dan beriman serta selamat di dunia dan selamat di akhirat.
Sesungguhnya agama Islam menyuruh umatnya mencari rezeki supaya dengan rezeki itu nanti mereka dapat menikmati kehidupan ini dengan selesa dan seterusnya dapat beribadat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Selain itu, agama Islam juga mengajar umatnya supaya rezeki yang diperolehi itu digunakan atau dibelanjakan dengan sebaik-baiknya seperti membelanjakan wang bagi keperluan diri, keluarga dan orang-orang yang dibawah tanggungannya, bersikap sederhana dalam berbelanja, bijak mengimbangkan di antara kadar pendapatan dan perbelanjaan dan sebagainya.
Sememangnya keperluan bagi memenuhi tuntutan kehidupan pada zaman ini memerlukan perbelanjaan yang bukan sedikit seperti makan minum, tempat tinggal, kenderaan, pakaian, perbelanjaan anak-anak sekolah dan sebagainya. Apa yang penting kita hendaklah bijak mentadbir kewangan dengan berbelanja hanya pada keperluan asasi, tidak berlebih-lebihan dan tidak membazir. Ingatlah larangan Allah Subhanahu Wata’ala sebagaimana firman-Nya dalam surah Al- Israa’ ayat 26-27 tafsirnya :
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

“Dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhan-Nya”.
Sebagaimana diketahui bahawa di antara lapan golongan asnaf yang berhak menerima zakat ialah Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Tetapi perlulah diketahui bahawa tidak semua orang yang berhutang itu berhak menerima bantuan zakat bagi menyelesaikan hutang-hutang yang ditanggung. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Muhzatal Mu’min Min Ihya Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah orang yang dibebani hutang dan ia berhutang kerana bertujuan ketaatan atau kerana sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri sedangkan orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir dan miskin, ia tidak lagi sanggup atau berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu bolehlah ia mengadu nasib kepada penguasa sehingga hutang itu dapat dibayar dengan zakat. Kiranya ia berhutang dengan tujuan maksiat, maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya orang yang berhutang itu seorang yang kaya atau mempunyai harta benda tiadalah boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika ia berhutang kerana faedah dan maslahat orang ramai ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah atau huru-hara.
Dari itu dapatlah difahami bahawa orang yang berhutang disebabkan perbelanjaan yang tidak perlu maka tiadalah ia berhak menerima zakat. Selain itu juga telah dijelaskan dalam sebuah hadis berkenaan orang-orang yang berhak meminta wang zakat sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Muslim yang menceritakan bahawa Qabisah bin Mukariq Al-Hilali pernah menanggung hutang untuk mendamaikan dua kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam meminta bantuan kepada Baginda untuk membayar hutangnya itu, Baginda bersetuju dan menyuruhnya menunggu sehingga ada orang datang menghantar zakat dan akan menyerahkan zakat itu kepadanya nanti. Kemudian Baginda bersabda bahawa sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali tiga golongan :
Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka orang itu boleh meminta sehingga dia dapat membayar tanggungannya atau bebanannya itu (tanggungan kerana dia berhutang untuk mendamaikan dua qabilah yang sedang bertikai itu). Maka apabila hutang itu telah selesai, maka tidak boleh lagi ia meminta-minta.

Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sehingga dia memperolehi sumber kehidupan yang layak bagi dirinya.
Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh orang yang dipercayai bahawa dia memang miskin) Orang itu boleh meminta-minta hingga memperolehi sumber kehidupan yang layak. Selain tiga golongan tersebut, haram baginya meminta-minta dan haram pula baginya memakan hasil perbuatan meminta-minta itu.
Muslimin yang dirahmati Allah,
Sememangnya tidak dinafikan bahawa Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan rezeki yang berbeza-beza di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam kesenangan dan ada pula yang hidup dalam serba kekurangan. Oleh itu dengan adanya pemberian zakat dapatlah membantu golongan yang memerlukan bantuan seperti fakir miskin dan Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Maka sebagai orang yang menerima agihan zakat hendaklah mensyukuri nikmat tersebut dan hendaklah mengetahui bahawa Allah Subhanahu Wata’ala mewajibkan pemberian zakat itu hanyalah untuk mencukupi keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan. Wang zakat yang diterima hendaklah dimanfaatkan dan dibelanjakan dengan bijaksana dan berhemah seperti perbelanjaan harian dan perbelanjaan sekolah. Jika wang zakat itu digunakannya untuk maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dengan itu jauhlah ia dari rahmat Allah dan mendapat pula kutukkan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang memberikan zakat serta mendoakan baginya kebaikan. Mereka juga hendaklah memelihara diri dari menerima zakat melainkan dalam kadar yang harus diterimanya iaitu sekadar keperluannya saja. Begitu juga, janganlah ia menerima melainkan sesudah ia yakin bahawa ia mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang berhak menerima zakat yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Namun tidak dinafikan terdapat sebilangan orang yang mencari helah ataupun apa jua cara supaya dirinya dapat menerima zakat seperti orang yang mempunyai wang yang cukup untuk perbelanjaan dirinya dan nafkah orang yang di bawah tanggungannya, tetapi dia berbelanja berlebih-lebihan dengan harapan supaya nantinya dia boleh meminta-minta bantuan wang zakat bagi melangsaikan hutang-hutangnya itu. Niatnya berbuat demikian adalah tidak baik dan perbuatan demikian merupakan suatu penipuan, sedangkan perbuatan menipu adalah berdosa. Perbuatan menipu dalam mencari harta merupakan cara haram yang balasannya tidak lain neraka jahanam.
Muslimin yang berbahagia,
Ingatlah bahawa risiko berhutang itu amat besar. Telah berkali-kali diingatkan dalam hadis-hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam akan risiko orang yang berhutang dimana hutang itu merupakan kegelisahan di waktu malam dan suatu penghinaan di siang hari. Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sendiri selalu berdoa meminta perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala supaya dijauhkan diri bebanan hutang sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, daripada ‘Aisyah Radiallahuanha bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam selalu berdoa di dalam sembahyang yang maksudnya : ‘Ya Allah sesungguhnya Aku berlindung denganmu daripada dosa dan hutang’.

Oleh itu bagi orang yang berhutang hendaklah ia segera membayar hutangnya itu apabila berkemampuan atau mengikut perjanjian yang telah disepakati bersama orang yang memberi hutang. Elakkanlah juga dari melambat-lambatkan membayar hutang sedang ia berkemampuan kerana hukumnya adalah berdosa.
Akhirnya marilah kita memelihara diri dari banyak berhutang dengan mengamalkan perbelanjaan secara sederhana, membeli hanya pada yang perlu, berusaha untuk mendapatkan dan meningkatkan pendapatan serta membanyakkan doa dan selawat. Mudah-mudahan dengan amalan demikian kehidupan kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat. Amin Ya Rabbal’alamin.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 283 tafsirnya :
“Kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menyempurnakan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”.
Fatwa Tentang Masail Asnaf Gharimin Dan Penyelesaiannya

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Keputusan:

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Syarat-syarat terhadap gharimin yang perlu mendapat bantuan adalah seperti berikut:
(1) Pemohon tidak mempunyai harta atau sumber kewangan yang melebihi keperluan asasinya.
(2) Pinjaman yang dibuat di dalam perkara-perkara yang halal dan harus.
(3) Wujud keperluan menyelesaikan hutang dengan segera.
(4) Wujudnya kemudharatan terhadap diri dan keluarga jika hutang tidak dibayar.
(5) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan asasi seperti kesihatan, pelajaran diperingkat rendah dan menengah, makanan, tempat perlindungan sementara dan segala hutang untuk meninggikan martabat agama dibantu terus dari peruntukan asnaf gharimin tanpa melihat kepada jumlah yang ditanggung.
(6) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan selain dari syarat (5) yang disebutkan di atas dibantu dari peruntukan asnaf gharimin secara Qardhul Hasan dan wajib menjalani tempoh pemulihan.
VII. Fisabilillah

Fisabilillah merupakan gelaran dan sejenis perlakuan yang dianggap mulia dalam Islam. Sejak dahulu lagi Fi sabil Allah yang menjadi polemik di antara ulama. Ada yang menyempitkan makna fi sabil Allah dan ada yang meluaskan pemahamannya. Perbincangan ini bukanlah hanya untuk menyenaraikan pendapat-pendapat yang bercanggah di antara ulama tetapi lebih kepada analisa yang kritis bagi memastikan kebenaran yang tulen yang perlu dipatuhi dan merupakan perbincangan yang melibatkan keharusan talfiq selagi sesuatu masalah itu masih kabur dan tidak nyata. Perbincangan juga melibatkan maslahah yang menjadi alasan dan senjata utama bagi mereka yang mengeluarkan hukum tanpa asas, tanpa memahami dengan mendalam maksud sebenar maslahah dalam Usul Al-Fiqh. Ramai golongan yang suka bercakap mengenai Fiqh tapi tidak didasarkan pada asas sebenar Fiqh itu iaitu usul Al-Fiqh. Realitinya amalan peluasan makna fi sabil Allah memang dipraktikkan di Malaysia tanpa diambil kira asas sebenar syariah. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam, adakah menepati makna fi sabil Allah atau tidak? Pendapat-pendapat ulama terhadap saham fi sabil Allah
A.Golongan yang menyempitkan makna fi sabil Allah.
Mazhab Hanafiyy
Imam Abu Yusof berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud tentera-tentera Islam yang tidak berkeupayaan menyertai perang disebabkan kemiskinan yang dialami, ini merupakan maksud yang mula terlintas di fikiran (al-Kasani 1997 : jil. 2,472).
Imam Muhammad al-Hassan pula berpendapat fi sabil Allah bermaksud orang yang tidak cukup kelengkapan menunaikan haji dengan beralaskan kepada satu hadis bahawa seorang lelaki hendak menyerahkan seekor unta untuk tujuan perang tetapi Rasulullah menyuruh beliau menyalurkannya untuk tujuan haji (al-Kasani 1997 : jil.2,472).
Al-Kasani dalam Badai’ al-sanai’ menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah adalah semua bentuk amalan mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah (Ibn ‘Abidin 1994 : jil.3,289). Ibn Nujaym dalam al-Bahr mengatakan bahawa unsur kefakiran mestilah ada pada setiap bahagian (Ibn Nujaim 1997 : jil.2,422).
Disyaratkan pemilikan harta zakat pada asnaf, maka tidak boleh disalurkan untuk pembinaan masjid, kafan serta pembayaran hutang mayat, pembinaan jambatan, terusan, pembinaan jalan, haji dan jihad yang tiada kaitan dengan pemilikan harta (Ibn Abidin 1994 : jil.3,291).
Ringkasnya ulama Mazhab Hanafi mentakrifkan fi sabil Allah sebagai amalan-amalan yang mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah serta mensyaratkan wujudnya sifat kefakiran bagi bahagian fi sabil Allah kecuali bahagian amil dan berlakunya pemilikan harta, maka tidak harus disalurkan zakat pada pembinaan masjid, pembinaan jambatan, tali air, jalan dan sebagainya.
Mazhab Malikiyy
Ibn al-Arabi dalam Ahkam al-Quran meriwayatkan daripada Imam Malik bahawa maksud fi sabil Allah banyak maknanya, tetapi tiada perselisihan pendapat tentang makna perang pada jalan Allah (Ibn al-Arabi 1967 : jil.2,957).
Muhammad Ibn al-Hakam mengatakan bahawa zakat boleh disalurkan bagi mendapatkan binatang dan senjata bagi kegunaan perang, bagi menahan kemaraan musuh kerana semuanya untuk maslahah perang berhujahkan pada satu hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah S.A.W pernah menyalurkan zakat dalam bentuk seratus ekor unta kepada jajahan kekuasaan Sahal Ibn Abi Hathmah bagi meredakan penentangan (Ibn al-Arabi 1967 :jil.2,957).
Al-Dardir menjelaskan dalam Syarh ala Matan Khalil bahawa zakat diberikan kepada tentera-tentera dan keperluan mereka seperti senjata dan kuda (pengangkutan), walaupun tentera itu kaya kerana ia menerima zakat melalui bahagian jihad bukan kefakiran. Diberikan juga kepada pengintip-pengintip walaupun seorang kafir tetapi tidak boleh disalurkan pada pembinaan benteng negara dan dalam perkara yang mempunyai kaitan sebahagian sahaja dalam perang.
Dalam tafsir al-Qurtubi dinyatakan bahawa maksud fi sabil Allah adalah tentera-tentera serta kelengkapan yang berkaitan sama ada miskin kaya dan ini adalah mazhab Maliki (al-Qurtubi 1996 : jil.8,172).
Ringkasnya, makna fi sabil Allah dalam Mazhab Maliki bermakna bagi tujuan peperangan, jihad dan yang berkaitan dengannya, tidak hanya tertakluk pada tentera tetapi lebih meluas pemahamannya merangkumi perkara-perkara yang berkaitan dengan persediaan perang dan boleh disalurkan zakat walaupun pada orang kaya.

Mazhab Syafi’iyy
Al-Nawawi dalam Minhaj al-Talibin menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah bermakna tentera-tentera yang tidak menerima gaji daripada kerajaan, iaitu bermakna tentera yang sukarela menyertai peperangan (al-Nawawi 2000 : jil.2,403).
Al-Syafi’iyy menjelaskan dalam al-Umm bahawa bahagian fi sabil Allah disalurkan kepada tentera yang berada dalam kawasan sesuatu zakat yang disalurkan, sama ada pada yang kaya atau miskin kecuali diperlukan sebaliknya (al-Syafie 1993 : jil.2,97).
Ringkasnya, Mazhab Syafi’iyy memfokuskan makna fi sabil Allah hanyalah untuk jihad, tentera yang tidak menerima gaji dan yang berkaitan dengannya walaupun ia kaya.
Mazhab Hanbaliyy
Mazhab Hanbaliyy sama dengan Mazhab Syafi’iyy dalam mentakrifkan fi sabil Allah iaitu dengan makna tentera-tentera sukarela yang tidak menerima gaji daripada kerajaan atau yang menerima gaji tetapi tidak mencukupi keperluan mereka untuk berperang walaupun ia kaya. Al-Bahuti menjelaskan bahawa tidak harus disalurkan zakat selain daripada yang disebutkan oleh Allah seperti pembinaan masjid, jambatan, terusan, pembinaan jalan, kafan mayat dan semua bentuk kebaikan untuk keredaan Allah kerana lafaz امنإ dalam ayat zakat tersebut bermakna hanya (al-Bahuti 1982 : jil.2,283).
Terdapat dua riwayat Imam Ahmad berkaitan dengan haji :
1.Haji termasuk dalam fi sabil Allah berdasarkan pada hadis Umm Mi’qal al-Asadiyyah bahawa suaminya menyerahkan seekor unta untuk tujuan jihad tetapi beliau ingin menggunakannya untuk tujuan haji lantas meminta unta tersebut daripada suaminya tetapi enggan, maka perkara ini diadukan pada Rasulullah dan baginda memutuskan supaya diberikan pada Umm Mi’qal dengan sabda : “Haji dan Umrah itu termasuk fi sabil Allah”.
2.Haji tidak termasuk fi sabil Allah seperti pendapat majoriti ulama. Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir menjelaskan bahawa ini lebih tepat kerana fi sabil Allah bermakna jihad merupakan maksud yang pertama terlintas di fikiran kerana sebahagian besar ayat al-Quran yang menggunakan perkataan sabil Allah membawa erti jihad, ini merupakan zahir ayat (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Rumusan
Hasil daripada kajian ringkas ini menunjukkan bahawa keempat-empat mazhab bersepakat mengatakan bahawa :
1.Jihad atau perang kerana Allah termasuk dalam fi sabil Allah.
2.Penyaluran zakat terhadap tentera-tentera yang terlibat dengan jihad.
3.Ketidakharusan penyaluran zakat bagi tujuan maslahah umum seperti pembinaan empangan, terusan, masjid, sekolah, jalan, urusan jenazah.
B.Gologan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.
Al-Razi menyatakan dalam takfsirnya : “Zahir lafaz fi sabil Allah tidak menunjukkan pengkhususan terhadap tentera sahaja justeru al-Qaffal menyatakan dalam tafsirnya mengikut sebahagian fuqaha mengharuskan pembahagian zakat kepada semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat, pembinaan benteng dan masjid kerana fi sabil Allah umum bagi semua”. (al-razi 1995 : jil.8,115).
Anas Ibn Malik dan al-Hassan
Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahawa Anas dan al-Hassan al-Basri pernah mengatakan bahawa “apa yang anda salurkan pada pembinaan jambatan dan jalan ia adalah sedekah yang diterima” (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Al-Imamiyyah al-Ja’fariyyah
Kitab al-Mukhtasar al-Nafi’ menjelaskan bahawa fi sabil Allah bermakna setiap perkara kebaikan dan kepentingan umum seperti haji, jihad dan pembinaan jambatan dan ada pendapat yang mengatakan bahawa ia khusus untuk jihad sahaja.
Kitab Syarai’ al-Islam menyebutkan bahawa kepentingan umum seperti pembinaan jambatan, masjid, haji dan semua bentuk kebaikan termasuk dalam kategori fi sabil Allah (Muhammad jawwad t.th : jil.1,87).
Al-Zaidiyyah

Pengarang al-Rawd al-Nadir menjelaskan bahawa Imam Zayd mengatakan bahawa zakat tidak boleh disalurkan pada urusan jenazah atau pembinaan masjid, tetapi beliau sendiri menyalahi pendapat Imam Zayd dengan mentarjihkan peluasan makna fi sabil Allah (al-Siyaghi t.th ; jil.2,621). Dalam Syarh al-Azhar dinyatakan bahawa harus disalurkan zakat untuk kepentingan umum umat Islam dan ini adalah nas atau keterangan Imam al-Hadi.
Al-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahawa fi sabil Allah bermaksud maslahah-maslahah umum umat Islam bagi tujuan agama dan negara bukan untuk persendirian, yang paling baik dan patut diutamakan ialah untuk jihad; pembelian senjata, bekalan makanan askar, pengangkutan tentera dan sebagainya, tetapi segala peralatan tersebut perlulah dikembalikan balik pada baitulmal disebabkan sifat fi sabil Allah hanya sah semasa berlakunya peperangan. Termasuk juga pembinaan hospital tentera, kebajikan umum dan pembinaan jalan-jalan, landasan keretapi tentera, menara-menara tentera, lapangan terbang tentera, bagi tujuan bekalan pendakwah-pendakwah Islam melalui institusi-institusi yang berkaitan (Rasyid Ridho t.th : jil.10,585).
Al-Syaikh Mahmud Syaltut
Beliau berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud kepentingan-kepentingan umum yang tidak dimiliki oleh sesiapapun hanya untuk jalan Allah dan untuk kepentingan manusia. Perlu diutamakan persiapan perang bagi mempertahankan kehormatan daripada musuh, termasuklah peralatan yang canggih, hospital tentera dan awam, pembinaan jalan, bagi tujuan pendakwah Islam….dibolehkan penyaluran zakat bagi tujuan pembinaan masjid dengan syarat mengikut keperluan sahaja (Syaltut 1991 : 119).
ANALISA
Hujah-hujah yang dikemukakan oleh setiap golongan menunjukkan bahawa majoriti fuqaha memiliki hujah yang lebih kukuh dan konkrit berbanding golongan yang memperluaskan makna fi sabil Allah. Golongan ini hanya berhujahkan dengan hujah berikut :
1.Umum ayat zakat yang menunjukkan maksud yang merangkumi semua kebajikan.
2.Riwayat-riwayat tabiin dan tabi’ tabiin tanpa alasan yang kukuh.
3.Tafsiran-tafsiran ulama tanpa berdasarkan pada nas atau hujah yang konkrit.
Sebaliknya majoriti fuqaha memiliki hujah dan alasan yang konkrit serta ilmiah dalam menentukan kehendak ayat zakat tersebut melalui hujah-hujah berikut :
1.Takhsis al-‘am ; ayat zakat tersebut menunjukkan lafaz yang umum iaitu fi sabil Allah yang berfungsi mengumumkan makna tersebut iaitu merangkumi semua kebajikan untuk jalan Allah. Tetapi ayat yang bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi sabil Allah seperti hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim; sahih mengikut syarat Bukhari dan Muslim iaitu sabda Rasulullah : Tidak halal zakat bagi orang yang kaya kecuali lima golongan iaitu tentera berjihad pada jalan Allah….perkataan tentera berjihad pada jalan Allah mentakhsiskan umum makna fi sabil Allah dalam ayat zakat. Tidak ada pertentangan pendapat ulama yang berhujahkan dengan prinsip umum dalam takhsis al-‘am sama ada dengan dalil ‘aqli atau sam’i. (al-Ghazzali 1996 : 245).
2. Apabila berlawanan maksud dalam Quran dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan syarak maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Al-Ghazzali telah menyatakan bahawa pendapat yang terpilih adalah setiap definisi yang berkaitan dengan penyataan atau suruhan maka perlulah disesuaikan dengan makna syarak (al-Ghazzali 1996 : 190). Ini bermakna maksud fi sabil Allah dari segi syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah kerana perbahasan zakat merupakan perbahasan syarak bukan perbahasan bahasa.
3. Perkataan fi sabil Allah jika diperluaskan maknanya maka ini menyebabkan berlakunya fenomena pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada sifat yang sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabil Allah merangkumi semua amal kebaikan maka tidak perlu lagi Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah. Ini bermakna penetapan kelapan-lapan asnaf tersebut mempunyai tujuan dan hikmah iaitu mengkhususkan fi sabil Allah untuk tujuan jihad atau perang fi sabil Allah bukan sebaliknya. Ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kalimat امنإ yang bermaksud hanya iaitu lapan golongan itu sahajalah yang berhak menerima zakat. Sekiranya makna umum yang dimaksudkan, maka kalimah Innama itu juga tidak ada faedahnya disebutkan dan Allah Maha Suci daripada tuduhan-tuduhan seperti ini.
4. Kebanyakan ayat Quran dan hadis Rasulullah apabila membicarakan tentang fi sabil Allah merujuk kepada jihad atau perang fi sabil Allah sekiranya tidak ada qarinah yang memesongkan maknanya kecuali beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan makna umum fi sabil Allah disebabkan terdapat qarinah. Perkataan fi sabil Allah dalam ayat zakat tersebut mempunyai makna yang khusus disebabkan tidak terdapat qarinah yang dapat memesongkan maknanya.
5.Sekiranya pemberian zakat kepada mangsa bencana alam dikategorikan sebagai maslahah, adakah ia menepati prinsip maslahah yang sepatutnya? Tambahan pula mazhab Syafie (Syafi’iyy) tidak mengiktirafkan penggunaan maslahah dalam penghasilan hukum secara mutlak dan itulah yang hak (Al-Amidi 2000 : jil.4,919). Kalau dikatakan fenomena talfiq mazhab harus dipraktikkan maka adalah adil jika dilaksanakan juga pada semua aspek syariah tidak hanya bab zakat malah dalam bab-bab yang lain juga. Sekiranya dipraktikkan juga prinsip maslahah ini terhadap penyaluran zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam (setelah kajian terperinci menunjukkan bahawa Imam syafie juga mempraktikkan maslahah dengan nama penghujahan dengan asas-asas syariah yang umum serta menyeluruh) maka ia termasuk dalam perkara yang dinyatakan oleh Al-Ghazzali : “Setiap maslahah yang tidak menjuruskan kepada tujuan-tujuan syariat daripada Quran, Hadis dan Ijma’ tergolong dalam maslahah yang janggal yang tidak menepati kehendak syarak maka hukumnya batil dan tidak perlu dipratikkan. Sesiapa yang mempraktikkannya seolah-olah membuat syariat yang baru “(Al-Ghazzali 1996 : 179). Setelah diteliti hujah-hujah majoriti ulama jelaslah bahawa penyaluran zakat kepada mangsa bencana alam tidak menepati prinsip maslahah yang sebenar.
Kompromi

Pengagihan zakat yang telah, sedang dan akan dilakukan perlulah diteliti dengan penuh keinsafan. Pemberian zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam bukanlah tidak boleh disalurkan kepada mereka disebabkan mangsa bencana alam ini berbeza situasinya menurut individu. Contohnya pemberian zakat masih boleh diberikan kepada mereka melalui asnaf yang lain seperti mangsa yang mengalami kefakiran atau kemiskinan setelah ditimpa bencana alam tetapi bukan semua mangsa boleh dikategorikan sebagai fakir atau miskin. Begitu juga boleh disalurkan melalui asnaf gharimin tetapi kalau hanya sekadar penghutang kenapa dikhususkan kepada mangsa bencana alam sahaja sedangkan boleh dikatakan semua orang berhutang.
Kesimpulan
Rumusannya, majoriti ulama termasuklah mazhab yang empat mengkhususkan makna fi sabil Allah dengan makna jihad atau perang dan yang berkaitan dengannya. Hanya segelintir sahaja yang memperluaskan makna tersebut dengan hujah yang rapuh. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam memang jelas tidak terdapat dalam asnaf yang lapan yang disebutkan dalam Qur’an. Sebagai alternatifnya segala bantuan yang hendak disalurkan kepada mangsa-mangsa berkenaan bolehlah diambil daripada sumber-sumber kewangan yang lain selain zakat ataupun diteliti dan dibuat analisa sekiranya di antara mangsa-mangsa yang terbabit tergolong dalam asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah


VIII. Ibnus Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.

2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.

3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.
Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:
1- Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak perjalanannya, yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di negerinya.
2- Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
      A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
      B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
3- Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan, biaya perjalanan ke tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.
4- Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya nafkah, kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.
5- Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia juga tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.
6- Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat dia sudah tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia mengembalikan sisa tersebut bila dia adalah orang yang berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.
7- Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:
     A- Jamaah haji dan umrah.
     B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
     C- Para da’i ke jalan Allah Ta’ala.
     D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta’ala.
     E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.
     F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
     G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
     H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan informasi syar’i.
Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?
Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.
Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.
Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja
Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau untuk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:
1- Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil, karena ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.
2- Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua kemungkinan:
     A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.
    B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin.

Wallahu a’lam.