8 Golongan Asnaf yang Layak
Menerima Zakat
emyuenampuluhtujuh ( Yunazsixtisevent
)
Firman Allah swt dalam
surah at Taubah ayat 60 bermaksud:
60. Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5.
memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh
orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan
zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu
untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada
yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang
dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
1. Fakir (al Fuqara) –
adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan
keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan,
pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
I. Fakir (al Fuqara) –
adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan
keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti
makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Bagaimana menurut
Al-Quran ?.
Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata “Faqara” yang artinya orang yang
patah tulang belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu,
karena miskin. Atau orang yang papa dan termiskin.
Kata Miskin, juga
berasal dari Bahasa Arab “Sakana” yang berarti diam, tidak banyak bergerak,
karena miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.
Dalam Ilmu Fikih,
orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi
penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan
tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin,
sebagai gambaran orang yang lemah dan perlu di tolong.
Menurut salah satu
ayat dalam Surah Al-Ma’un, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat masih
dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.
Bahkan makna Pendusta
agama itu, diantaranya orang yang “ WALA YAHUDDHU… “( Orang yang tidak
menganjurkan memberi makanan orang miskin ).
Menurut ulama Tafsir
WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari dan tidak
menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka
yang hidupnya menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang
uang dan harta, maka yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan
jalan menganjurkan atau ikut Tim yang dapat mengentaskan orang-orang Miskin.
Dari ayat tersebut
dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi
makan orang-orang miskin diserkelilingnya.
II. Miskin
(al-Masakin) –
mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
19. dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian[1417].
[1417] Orang miskin
yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak
meminta-minta.
Hak orang miskin:
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).
Hal ini dipahami,
nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya milik
kita, sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian
kecil didalamnya kepunyaan orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan
sendiri, kita dianggap termasuk kelompok perampas hak orang miskin. Agama
mewajibkan kita memberikan sebagian kepada mereka yang miskin. Tidak banyak.
Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 – 2O % pertahun. Tapi sebagian mufasir
menganjurkan, setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan juga seketika,
karena ditafsirkan masuk kelompok “ghanimah ” (rezeki mendadak), semacam honor
atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan sebagian
negeri-negeri Islam di Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.
Jika kita berpikir
rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya (aghniya)
, sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu
misalnya dari pelabuhan ke gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau
diekspor. Sebab itu wajar juga, jika memperoleh bahagian kecil.
Alhasil, pemberian
yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya sendiri,
lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).
276. Allah memusnahkan
Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang
tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].
[177] Yang dimaksud
dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya.
dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang
telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap
melakukannya.
Harta bertambah:
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin
bertambah. Al-Quran menyebutnya “WAYURBI SHADAQAT “(Allah menghancurkan sistem
riba dan mengembangbiakkan sedekah) (QS.2: 276)
Untuk membuktikan
kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang pengusaha
sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit,
justru diperintahkan kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya
kepada orang-orang miskin. Apa yang terjadi ?. Dalam waktu yang relative
singkat, uang yang dibagikan itu terganti, mebihi dengan yang telah disedekahkan.Boleh dicoba
asal ikhlas.
Bantuan yang diberikan
kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan
miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan
dianjurkan Al-Quran “WASHALLI ALAIHIM…
103. ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.
[658] Maksudnya: zakat
itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada
harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka
dan memperkembangkan harta benda mereka.
(Berdoalah untuk
mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 : 1O3).
Berdasarkan ayat
tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian hartanya
dan masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah
rezekinya para penyumbang.
Untuk menghidari
kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti bulan
Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan
didatangi, tapi mendatangi. Salah satu makna “Atu al-zakat ” dalam Al-Quran
berarti proaktif pergi ke lokasi membagi. Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin,
tapi tidak pergi minta-minta), karena malu sehingga wajib bagi amil
mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang benar.
Akhirnya, makna
menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak
membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi
karena Islam mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus
membantu pemerintah. Bantuan “ aghniya ” sesuai keikhlasan. Minimal sama
kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara 2,5 % sampai 2O % ).Tapi bantuan yang
lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah membantu yang produktif. Hal itu
ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah statusnya menjadi pemilik.
Dan bantuan berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.
Bantuan muslim yang
berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga semua
muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat
Rasulullah SAW.
Untuk menghindari
pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke gubuk orang
miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.
III. Amil
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan
dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau
distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin
darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh
masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang
berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang
hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban
membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan
menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer
Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus
zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga
yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena
itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan.
Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian
kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain
muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat Ada tugas-tugas sekunder
lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian
syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi]], penyimpanan, dan perawatan aset yang
dimiliki lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan
lain-lain.
Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan
oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak
melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan
supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari
seperdelapan zakat (13.5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat
pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan
diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada
mustahiq lain.
Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik
dalam bentuk uang ataupun barang.
Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan
yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau
sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan
bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan,
penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah
zakat.
Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan
zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw
dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat
harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya
dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan
kelalaiannya.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya,
penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan
mereka. Begitu juga terhadap para mustahiq, mereka mesti dapat menjelaskan
kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar
menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahiq.
IV. Mu’allaf
Mu’allaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk
agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60
disebutkan bahwa para mu’allaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat.
Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:
1. Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap
hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang
berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
2. Orang-orang yang
dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan
kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan
ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela
kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi
memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin.
Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan
dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin.
3. Orang-orang yang
baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam
beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah,
atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan
memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan
lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun
materiil.
V. RIQAB
Secara bahasa riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk
(leher bagian belakang), seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena
nilai anggota ini yang berharga, kata raqabah digunakan secara mutlak dengan
makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba sahaya yang dimiliki oleh
seseorang, dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang berakad dengan
majikannya untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.
Riqab berhak menerima
zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus ditunaikannya
kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus
dirinya dari majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.
Apakah tawanan muslim
termasuk riqab?
Atau dengan kata lain,
bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan tawanan
muslim dari tangan orang-orang kafir?
Pendapat yang rajih
adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk
membebaskan tawanan muslim karena:
1- Membebaskan tawanan
dari penawanan tidak berbeda dengan memerdekakan hamba sahaya dari penghambaan.
2- Harta yang
dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan untuk
gharim agar terbebas dari belitan hutang.
3- Bahwa ayat hadir
dengan kata riqab mencakup hamba sahaya, mukatab dan tawanan.
Pos riqab untuk
membantu bangsa muslim yang terjajah
Pendapat pertama:
disyariatkan. Pendapat kedua: tidak disyariatkan.
Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya dibandingkan dengan penghambaan dalam skala pribadi.
Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya dibandingkan dengan penghambaan dalam skala pribadi.
Pendapat kedua
berdalil: dicaploknya(dikuasainya-ed) negeri Islam oleh orang-orang kafir tidak
termasuk ke dalam makna riqab, tidak dari sisi bahasa dan tidak pula dari sisi
syara’.
Tarjih: Pendapat kedua
adalah pendapat yang rajih berdasarkan:
1- Tidak adanya dalil
yang menunjukkan bahwa membebaskan suatu bangsa dari penjahahan termasuk ke
dalam makna riqab.
2- Tidak adanya hajat
untuk itu, karena masih ada pos-pos lain untuk menopang tujuan tersebut, bisa
dari pos fi sabilillah atau dari pos lainnya dari Baitul Mal. Wallahu a’lam.
VI. Gharimin
Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam
golongan:
• Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan,
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
2. Utang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.
1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
2. Utang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.
• Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang
untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda
kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak
menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
• Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang
menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
• Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak
sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda
tersebut, begitu pula kas negara.
Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun
diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun
demikian, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena
banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain
juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana
sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini,
misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat
kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak
keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan
tuntutan zaman.
KRITERIA GHÂRIMIN PENERIMA ZAKAT
Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak
bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan
antara individu masyarakat yang berbeda status ekonominya, asal masing-masing
mengerti hak dan kewajibannya. Karena, mereka sebenarnya saling membutuhkan; si
miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan
bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus
delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya
terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin dan si kaya
selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang
tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini.
Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan
antara yang kaya dan yang miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara
sesama. Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara
Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini, si kaya akan
menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau
tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin
yang tidak meminta-minta)”. [adz-Dzariyât/51:19]
Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah
al-ghârim (orang yang terlilit hutang). Namun penerima zakat yang satu ini
harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan oleh
orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan ketamakan.
Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak berpikir untuk melakukan
tindakan negatif.. Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman karena sudah
melaksanakan syari’at dengan benar dan akan mendapatkan limpahan do’a dari si
miskin. Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang
mungkin dengan dalih terpaksa melakukan kejahatan.
DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan,
al-ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi
ini dengan menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim
adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya
terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya [1].
Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang
menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi
kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzîr) [2].
Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi
al-ghârim yang berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau
terlilit hutang.
FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan
atau kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan
syarat tambahan pada ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin.
Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia
kaya.
I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima
zakat, yaitu mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan
keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal
atau berobat dsb.
Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang
berhutang untuk menafkahi diri dan keluarganya atau untuk berpakaian.”[3]
Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang
terkena bencana alam atau musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis,
contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian dan sebagainya
yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga
mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir). Inilah yang disabdakan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang panjang dari shahabat
Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :
وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah.
Orang ini dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk
hidup”.[4]
Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut
Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :
Pertama : pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan
mereka tidak berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu
adalah hutang yang berkaitan dengan (hak) manusia, sedangkan hutang kepada
Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat atau zakat yang tertunda maka
tidak bisa diambilkan dari uang zakat.
Kedua : Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka membolehkan
pemberian zakat dari baitul mal untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa
hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yang paling berhak untuk
dibayar.
Pendapat yang râjih, wallahu A’lam adalah pendapat pertama.
Karena sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti
dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila seseorang tidak mampu membayar
kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas. sehingga bagi
yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla
akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan orang yang tidak mampu
bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tidak mampu.
Oleh karenanya uang zakat tidak diberikan untuk membayar kafarat-kafarat
tersebut.[5]
Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dengan uang zakat ?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dengan uang zakat ?
Dalam masalah ini Ulama’ berbeda pendapat, ada yang melarangnya
dan ada yang membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama’
Hanafiyyah dan Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah.
Sedangkan yang membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah dan dirâjihkan oleh
syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yang rajah berdasarkan
hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhâri :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ }فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya
di dunia dan akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) ” Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”
[6], maka mukmin manapun yang mati dan meninggalkan harta maka ahli warisnya
yang mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang hilang
maka hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya”.[7]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar
pijakan) pendapat yang menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih
kuat. Ditambah lagi pendapat yang menolak memasukkan mayit sebagai al-ghârim
tidak memiliki dalil yang jelas.[8]
II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban
yang tidak sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang
berjiwa sosial dan dermawan untuk berupaya memadamkan api permusuhan dengan
menjadi penengah. Terkadang upaya yang dilakukan memaksanya merogoh kocek
dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi
menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang
disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.
Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin,
Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yang
berhutang untuk mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi
peperangan antara dua suku atau dua orang yang berselisih, lalu hutang tersebut
digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].
Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang
menghabiskan hartanya untuk membantu saudara seiman yang tertimpa bencana atau
musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, “Jika seseorang menanggung
kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau korban perampokan
maka boleh baginya mendapat uang zakat.” [10]
Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin
boleh menerima zakat walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam
kitab al-Istidkâr mengatakan, “Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah, Syâfi’i
rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan para pengikut mereka menyatakan
bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya.”
[11] Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ
“Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali
lima golongan, yaitu orang yang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil
zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang membeli barang zakat dengan hartanya,
atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepadanya,
kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya”. [12]
Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).”[13]
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).”[13]
2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi),
sedangkan pada ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tidak berlaku.
Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.
3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat
tabdzîr dan boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah
menjelaskan, “Saya tidak pernah mendapati satu pendapat ahli ilmu yang
membolehkan zakat diberikan kepada orang yang terbelit hutang dalam rangka
berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari sebagian
kecil Syâfi’iyyah, seperti al-Hanathi dan ar-Râfi’y, yang memandang mereka
boleh diberi karena Ghârim.[14].
Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan
korban. Karena termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak
boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi
yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang
papan atau pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini
diukur sesuai kebutuhan.[15]
4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan sebagian
hanabilah memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja.
Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam
masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia kesulitan sekali untuk
melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja. Akan
tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi hutangan
memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha
untuk melunasinya (sendiri). [16]
5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh
Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ
“Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia
tidak halal untuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga keluarga
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [18]
6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih
rahimahullah berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu
‘anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.”[19]
Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak
boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. [20]
Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan
catatan, baitul mal boleh mengeluarkan zakat untuk ghârim tersebut, apabila
jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau sudah masuk dalam tahun jatuh tempo.
Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu tahun maka tidak berhak
menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang memberikan
hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A’lam. [21]
7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang
Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain,
maka zakat yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah
dia membelanjakan harta untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yang
dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat, namun dianggap sebagai nafkah yang
diberikan oleh kepala rumah tangga untuk keluarganya. Orang-orang yang termasuk
dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak dan keturunannya dan Bapak serta
kakek keatas. [22]
KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang
yang harus dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim hanya sebatas
untuk tujuan ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat untuk
menutup hutangnya walaupun sangat banyak”[23]
Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid
menyatakan, “Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan
karena maksiat” [24]
Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim
pada seseorang, maka boleh baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan
melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. [25]
Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini
ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi
umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan
menumbuhkan semangat dalam bersedekah tidak hanya di bulan suci Ramadhan
semata. Wallahu a’lam
AL-GHARIMIN (ORANG YANG MENANGGUNG HUTANG)
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
MARILAH kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan
penuh keyakinan dan keikhlasan dengan melakukan segala suruhan-Nya dan
meninggalkan segala larangan-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi insan yang
bertakwa dan beriman serta selamat di dunia dan selamat di akhirat.
Sesungguhnya agama Islam menyuruh umatnya mencari rezeki supaya dengan rezeki
itu nanti mereka dapat menikmati kehidupan ini dengan selesa dan seterusnya
dapat beribadat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Selain itu, agama Islam juga
mengajar umatnya supaya rezeki yang diperolehi itu digunakan atau dibelanjakan
dengan sebaik-baiknya seperti membelanjakan wang bagi keperluan diri, keluarga
dan orang-orang yang dibawah tanggungannya, bersikap sederhana dalam
berbelanja, bijak mengimbangkan di antara kadar pendapatan dan perbelanjaan dan
sebagainya.
Sememangnya keperluan bagi memenuhi tuntutan kehidupan pada zaman ini
memerlukan perbelanjaan yang bukan sedikit seperti makan minum, tempat tinggal,
kenderaan, pakaian, perbelanjaan anak-anak sekolah dan sebagainya. Apa yang
penting kita hendaklah bijak mentadbir kewangan dengan berbelanja hanya pada
keperluan asasi, tidak berlebih-lebihan dan tidak membazir. Ingatlah larangan
Allah Subhanahu Wata’ala sebagaimana firman-Nya dalam surah Al- Israa’ ayat
26-27 tafsirnya :
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
“Dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang
melampau-lampau. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara
syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada
Tuhan-Nya”.
Sebagaimana diketahui bahawa di antara lapan golongan asnaf yang berhak
menerima zakat ialah Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Tetapi perlulah
diketahui bahawa tidak semua orang yang berhutang itu berhak menerima bantuan
zakat bagi menyelesaikan hutang-hutang yang ditanggung. Menurut Imam Al-Ghazali
dalam Kitab Muhzatal Mu’min Min Ihya Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah orang
yang dibebani hutang dan ia berhutang kerana bertujuan ketaatan atau kerana
sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri sedangkan
orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir dan miskin, ia tidak lagi sanggup
atau berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu bolehlah ia mengadu nasib
kepada penguasa sehingga hutang itu dapat dibayar dengan zakat. Kiranya ia
berhutang dengan tujuan maksiat, maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat
itu, melainkan jika ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya
orang yang berhutang itu seorang yang kaya atau mempunyai harta benda tiadalah
boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika ia berhutang
kerana faedah dan maslahat orang ramai ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah
atau huru-hara.
Dari itu dapatlah difahami bahawa orang yang berhutang disebabkan perbelanjaan
yang tidak perlu maka tiadalah ia berhak menerima zakat. Selain itu juga telah
dijelaskan dalam sebuah hadis berkenaan orang-orang yang berhak meminta wang
zakat sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Muslim yang menceritakan bahawa
Qabisah bin Mukariq Al-Hilali pernah menanggung hutang untuk mendamaikan dua
kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang kepada Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wasallam meminta bantuan kepada Baginda untuk membayar hutangnya itu,
Baginda bersetuju dan menyuruhnya menunggu sehingga ada orang datang menghantar
zakat dan akan menyerahkan zakat itu kepadanya nanti. Kemudian Baginda bersabda
bahawa sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali tiga
golongan :
Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka orang itu
boleh meminta sehingga dia dapat membayar tanggungannya atau bebanannya itu
(tanggungan kerana dia berhutang untuk mendamaikan dua qabilah yang sedang
bertikai itu). Maka apabila hutang itu telah selesai, maka tidak boleh lagi ia
meminta-minta.
Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh
meminta-minta sehingga dia memperolehi sumber kehidupan yang layak bagi
dirinya.
Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh orang
yang dipercayai bahawa dia memang miskin) Orang itu boleh meminta-minta hingga
memperolehi sumber kehidupan yang layak. Selain tiga golongan tersebut, haram
baginya meminta-minta dan haram pula baginya memakan hasil perbuatan
meminta-minta itu.
Muslimin yang dirahmati Allah,
Sememangnya tidak dinafikan bahawa Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan
rezeki yang berbeza-beza di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam
kesenangan dan ada pula yang hidup dalam serba kekurangan. Oleh itu dengan
adanya pemberian zakat dapatlah membantu golongan yang memerlukan bantuan
seperti fakir miskin dan Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Maka sebagai
orang yang menerima agihan zakat hendaklah mensyukuri nikmat tersebut dan
hendaklah mengetahui bahawa Allah Subhanahu Wata’ala mewajibkan pemberian zakat
itu hanyalah untuk mencukupi keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan.
Wang zakat yang diterima hendaklah dimanfaatkan dan dibelanjakan dengan
bijaksana dan berhemah seperti perbelanjaan harian dan perbelanjaan sekolah.
Jika wang zakat itu digunakannya untuk maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri
nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dengan itu jauhlah ia dari rahmat Allah
dan mendapat pula kutukkan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang memberikan zakat serta
mendoakan baginya kebaikan. Mereka juga hendaklah memelihara diri dari menerima
zakat melainkan dalam kadar yang harus diterimanya iaitu sekadar keperluannya
saja. Begitu juga, janganlah ia menerima melainkan sesudah ia yakin bahawa ia
mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang berhak menerima zakat
yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Namun tidak dinafikan terdapat sebilangan orang yang mencari helah ataupun apa
jua cara supaya dirinya dapat menerima zakat seperti orang yang mempunyai wang
yang cukup untuk perbelanjaan dirinya dan nafkah orang yang di bawah
tanggungannya, tetapi dia berbelanja berlebih-lebihan dengan harapan supaya
nantinya dia boleh meminta-minta bantuan wang zakat bagi melangsaikan
hutang-hutangnya itu. Niatnya berbuat demikian adalah tidak baik dan perbuatan
demikian merupakan suatu penipuan, sedangkan perbuatan menipu adalah berdosa.
Perbuatan menipu dalam mencari harta merupakan cara haram yang balasannya tidak
lain neraka jahanam.
Muslimin yang berbahagia,
Ingatlah bahawa risiko berhutang itu amat besar. Telah berkali-kali diingatkan
dalam hadis-hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam akan risiko orang yang
berhutang dimana hutang itu merupakan kegelisahan di waktu malam dan suatu
penghinaan di siang hari. Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sendiri
selalu berdoa meminta perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala supaya dijauhkan
diri bebanan hutang sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari,
daripada ‘Aisyah Radiallahuanha bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam selalu
berdoa di dalam sembahyang yang maksudnya : ‘Ya Allah sesungguhnya Aku
berlindung denganmu daripada dosa dan hutang’.
Oleh itu bagi orang yang berhutang hendaklah ia segera membayar
hutangnya itu apabila berkemampuan atau mengikut perjanjian yang telah
disepakati bersama orang yang memberi hutang. Elakkanlah juga dari
melambat-lambatkan membayar hutang sedang ia berkemampuan kerana hukumnya
adalah berdosa.
Akhirnya marilah kita memelihara diri dari banyak berhutang dengan mengamalkan
perbelanjaan secara sederhana, membeli hanya pada yang perlu, berusaha untuk
mendapatkan dan meningkatkan pendapatan serta membanyakkan doa dan selawat.
Mudah-mudahan dengan amalan demikian kehidupan kita bahagia dan selamat di
dunia dan di akhirat. Amin Ya Rabbal’alamin.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 283 tafsirnya :
“Kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang, maka hendaklah orang
yang dipercayai itu menyempurnakan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah”.
Fatwa Tentang Masail Asnaf Gharimin Dan Penyelesaiannya
Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali
ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang
untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu
kebaikan (taat kepada Allah).
Keputusan:
Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali
ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang
untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu
kebaikan (taat kepada Allah).
Syarat-syarat terhadap gharimin yang perlu mendapat bantuan adalah seperti
berikut:
(1) Pemohon tidak mempunyai harta atau sumber kewangan yang melebihi keperluan
asasinya.(2) Pinjaman yang dibuat di dalam perkara-perkara yang halal dan harus.
(3) Wujud keperluan menyelesaikan hutang dengan segera.
(4) Wujudnya kemudharatan terhadap diri dan keluarga jika hutang tidak dibayar.
(5) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan asasi seperti
kesihatan, pelajaran diperingkat rendah dan menengah, makanan, tempat
perlindungan sementara dan segala hutang untuk meninggikan martabat agama
dibantu terus dari peruntukan asnaf gharimin tanpa melihat kepada jumlah yang
ditanggung.
(6) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan selain dari syarat
(5) yang disebutkan di atas dibantu dari peruntukan asnaf gharimin secara
Qardhul Hasan dan wajib menjalani tempoh pemulihan.
VII. Fisabilillah
Fisabilillah merupakan gelaran dan sejenis perlakuan yang dianggap mulia dalam Islam. Sejak dahulu lagi Fi sabil Allah yang menjadi polemik di antara ulama. Ada yang menyempitkan makna fi sabil Allah dan ada yang meluaskan pemahamannya. Perbincangan ini bukanlah hanya untuk menyenaraikan pendapat-pendapat yang bercanggah di antara ulama tetapi lebih kepada analisa yang kritis bagi memastikan kebenaran yang tulen yang perlu dipatuhi dan merupakan perbincangan yang melibatkan keharusan talfiq selagi sesuatu masalah itu masih kabur dan tidak nyata. Perbincangan juga melibatkan maslahah yang menjadi alasan dan senjata utama bagi mereka yang mengeluarkan hukum tanpa asas, tanpa memahami dengan mendalam maksud sebenar maslahah dalam Usul Al-Fiqh. Ramai golongan yang suka bercakap mengenai Fiqh tapi tidak didasarkan pada asas sebenar Fiqh itu iaitu usul Al-Fiqh. Realitinya amalan peluasan makna fi sabil Allah memang dipraktikkan di Malaysia tanpa diambil kira asas sebenar syariah. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam, adakah menepati makna fi sabil Allah atau tidak? Pendapat-pendapat ulama terhadap saham fi sabil Allah
A.Golongan yang menyempitkan makna fi sabil Allah.
Mazhab Hanafiyy
Imam Abu Yusof berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud tentera-tentera Islam yang tidak berkeupayaan menyertai perang disebabkan kemiskinan yang dialami, ini merupakan maksud yang mula terlintas di fikiran (al-Kasani 1997 : jil. 2,472).
Imam Muhammad al-Hassan pula berpendapat fi sabil Allah bermaksud orang yang tidak cukup kelengkapan menunaikan haji dengan beralaskan kepada satu hadis bahawa seorang lelaki hendak menyerahkan seekor unta untuk tujuan perang tetapi Rasulullah menyuruh beliau menyalurkannya untuk tujuan haji (al-Kasani 1997 : jil.2,472).
Al-Kasani dalam Badai’ al-sanai’ menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah adalah semua bentuk amalan mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah (Ibn ‘Abidin 1994 : jil.3,289). Ibn Nujaym dalam al-Bahr mengatakan bahawa unsur kefakiran mestilah ada pada setiap bahagian (Ibn Nujaim 1997 : jil.2,422).
Disyaratkan pemilikan harta zakat pada asnaf, maka tidak boleh disalurkan untuk pembinaan masjid, kafan serta pembayaran hutang mayat, pembinaan jambatan, terusan, pembinaan jalan, haji dan jihad yang tiada kaitan dengan pemilikan harta (Ibn Abidin 1994 : jil.3,291).
Ringkasnya ulama Mazhab Hanafi mentakrifkan fi sabil Allah sebagai amalan-amalan yang mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah serta mensyaratkan wujudnya sifat kefakiran bagi bahagian fi sabil Allah kecuali bahagian amil dan berlakunya pemilikan harta, maka tidak harus disalurkan zakat pada pembinaan masjid, pembinaan jambatan, tali air, jalan dan sebagainya.
Mazhab Malikiyy
Ibn al-Arabi dalam Ahkam al-Quran meriwayatkan daripada Imam Malik bahawa maksud fi sabil Allah banyak maknanya, tetapi tiada perselisihan pendapat tentang makna perang pada jalan Allah (Ibn al-Arabi 1967 : jil.2,957).
Muhammad Ibn al-Hakam mengatakan bahawa zakat boleh disalurkan bagi mendapatkan binatang dan senjata bagi kegunaan perang, bagi menahan kemaraan musuh kerana semuanya untuk maslahah perang berhujahkan pada satu hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah S.A.W pernah menyalurkan zakat dalam bentuk seratus ekor unta kepada jajahan kekuasaan Sahal Ibn Abi Hathmah bagi meredakan penentangan (Ibn al-Arabi 1967 :jil.2,957).
Al-Dardir menjelaskan dalam Syarh ala Matan Khalil bahawa zakat diberikan kepada tentera-tentera dan keperluan mereka seperti senjata dan kuda (pengangkutan), walaupun tentera itu kaya kerana ia menerima zakat melalui bahagian jihad bukan kefakiran. Diberikan juga kepada pengintip-pengintip walaupun seorang kafir tetapi tidak boleh disalurkan pada pembinaan benteng negara dan dalam perkara yang mempunyai kaitan sebahagian sahaja dalam perang.
Dalam tafsir al-Qurtubi dinyatakan bahawa maksud fi sabil Allah adalah tentera-tentera serta kelengkapan yang berkaitan sama ada miskin kaya dan ini adalah mazhab Maliki (al-Qurtubi 1996 : jil.8,172).
Ringkasnya, makna fi sabil Allah dalam Mazhab Maliki bermakna bagi tujuan peperangan, jihad dan yang berkaitan dengannya, tidak hanya tertakluk pada tentera tetapi lebih meluas pemahamannya merangkumi perkara-perkara yang berkaitan dengan persediaan perang dan boleh disalurkan zakat walaupun pada orang kaya.
Mazhab Syafi’iyy
Al-Nawawi dalam Minhaj al-Talibin menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah bermakna tentera-tentera yang tidak menerima gaji daripada kerajaan, iaitu bermakna tentera yang sukarela menyertai peperangan (al-Nawawi 2000 : jil.2,403).
Al-Syafi’iyy menjelaskan dalam al-Umm bahawa bahagian fi sabil Allah disalurkan kepada tentera yang berada dalam kawasan sesuatu zakat yang disalurkan, sama ada pada yang kaya atau miskin kecuali diperlukan sebaliknya (al-Syafie 1993 : jil.2,97).
Ringkasnya, Mazhab Syafi’iyy memfokuskan makna fi sabil Allah hanyalah untuk jihad, tentera yang tidak menerima gaji dan yang berkaitan dengannya walaupun ia kaya.
Mazhab Hanbaliyy
Mazhab Hanbaliyy sama dengan Mazhab Syafi’iyy dalam mentakrifkan fi sabil Allah iaitu dengan makna tentera-tentera sukarela yang tidak menerima gaji daripada kerajaan atau yang menerima gaji tetapi tidak mencukupi keperluan mereka untuk berperang walaupun ia kaya. Al-Bahuti menjelaskan bahawa tidak harus disalurkan zakat selain daripada yang disebutkan oleh Allah seperti pembinaan masjid, jambatan, terusan, pembinaan jalan, kafan mayat dan semua bentuk kebaikan untuk keredaan Allah kerana lafaz امنإ dalam ayat zakat tersebut bermakna hanya (al-Bahuti 1982 : jil.2,283).
Terdapat dua riwayat Imam Ahmad berkaitan dengan haji :
1.Haji termasuk dalam fi sabil Allah berdasarkan pada hadis Umm Mi’qal al-Asadiyyah bahawa suaminya menyerahkan seekor unta untuk tujuan jihad tetapi beliau ingin menggunakannya untuk tujuan haji lantas meminta unta tersebut daripada suaminya tetapi enggan, maka perkara ini diadukan pada Rasulullah dan baginda memutuskan supaya diberikan pada Umm Mi’qal dengan sabda : “Haji dan Umrah itu termasuk fi sabil Allah”.
2.Haji tidak termasuk fi sabil Allah seperti pendapat majoriti ulama. Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir menjelaskan bahawa ini lebih tepat kerana fi sabil Allah bermakna jihad merupakan maksud yang pertama terlintas di fikiran kerana sebahagian besar ayat al-Quran yang menggunakan perkataan sabil Allah membawa erti jihad, ini merupakan zahir ayat (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Rumusan
Hasil daripada kajian ringkas ini menunjukkan bahawa keempat-empat mazhab bersepakat mengatakan bahawa :
1.Jihad atau perang kerana Allah termasuk dalam fi sabil Allah.
2.Penyaluran zakat terhadap tentera-tentera yang terlibat dengan jihad.
3.Ketidakharusan penyaluran zakat bagi tujuan maslahah umum seperti pembinaan empangan, terusan, masjid, sekolah, jalan, urusan jenazah.
B.Gologan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.
Al-Razi menyatakan dalam takfsirnya : “Zahir lafaz fi sabil Allah tidak menunjukkan pengkhususan terhadap tentera sahaja justeru al-Qaffal menyatakan dalam tafsirnya mengikut sebahagian fuqaha mengharuskan pembahagian zakat kepada semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat, pembinaan benteng dan masjid kerana fi sabil Allah umum bagi semua”. (al-razi 1995 : jil.8,115).
Anas Ibn Malik dan al-Hassan
Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahawa Anas dan al-Hassan al-Basri pernah mengatakan bahawa “apa yang anda salurkan pada pembinaan jambatan dan jalan ia adalah sedekah yang diterima” (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Al-Imamiyyah al-Ja’fariyyah
Kitab al-Mukhtasar al-Nafi’ menjelaskan bahawa fi sabil Allah bermakna setiap perkara kebaikan dan kepentingan umum seperti haji, jihad dan pembinaan jambatan dan ada pendapat yang mengatakan bahawa ia khusus untuk jihad sahaja.
Kitab Syarai’ al-Islam menyebutkan bahawa kepentingan umum seperti pembinaan jambatan, masjid, haji dan semua bentuk kebaikan termasuk dalam kategori fi sabil Allah (Muhammad jawwad t.th : jil.1,87).
Al-Zaidiyyah
Pengarang al-Rawd al-Nadir menjelaskan bahawa Imam Zayd mengatakan bahawa zakat tidak boleh disalurkan pada urusan jenazah atau pembinaan masjid, tetapi beliau sendiri menyalahi pendapat Imam Zayd dengan mentarjihkan peluasan makna fi sabil Allah (al-Siyaghi t.th ; jil.2,621). Dalam Syarh al-Azhar dinyatakan bahawa harus disalurkan zakat untuk kepentingan umum umat Islam dan ini adalah nas atau keterangan Imam al-Hadi.
Al-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahawa fi sabil Allah bermaksud maslahah-maslahah umum umat Islam bagi tujuan agama dan negara bukan untuk persendirian, yang paling baik dan patut diutamakan ialah untuk jihad; pembelian senjata, bekalan makanan askar, pengangkutan tentera dan sebagainya, tetapi segala peralatan tersebut perlulah dikembalikan balik pada baitulmal disebabkan sifat fi sabil Allah hanya sah semasa berlakunya peperangan. Termasuk juga pembinaan hospital tentera, kebajikan umum dan pembinaan jalan-jalan, landasan keretapi tentera, menara-menara tentera, lapangan terbang tentera, bagi tujuan bekalan pendakwah-pendakwah Islam melalui institusi-institusi yang berkaitan (Rasyid Ridho t.th : jil.10,585).
Al-Syaikh Mahmud Syaltut
Beliau berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud kepentingan-kepentingan umum yang tidak dimiliki oleh sesiapapun hanya untuk jalan Allah dan untuk kepentingan manusia. Perlu diutamakan persiapan perang bagi mempertahankan kehormatan daripada musuh, termasuklah peralatan yang canggih, hospital tentera dan awam, pembinaan jalan, bagi tujuan pendakwah Islam….dibolehkan penyaluran zakat bagi tujuan pembinaan masjid dengan syarat mengikut keperluan sahaja (Syaltut 1991 : 119).
ANALISA
Hujah-hujah yang dikemukakan oleh setiap golongan menunjukkan bahawa majoriti fuqaha memiliki hujah yang lebih kukuh dan konkrit berbanding golongan yang memperluaskan makna fi sabil Allah. Golongan ini hanya berhujahkan dengan hujah berikut :
1.Umum ayat zakat yang menunjukkan maksud yang merangkumi semua kebajikan.
2.Riwayat-riwayat tabiin dan tabi’ tabiin tanpa alasan yang kukuh.
3.Tafsiran-tafsiran ulama tanpa berdasarkan pada nas atau hujah yang konkrit.
Sebaliknya majoriti fuqaha memiliki hujah dan alasan yang konkrit serta ilmiah dalam menentukan kehendak ayat zakat tersebut melalui hujah-hujah berikut :
1.Takhsis al-‘am ; ayat zakat tersebut menunjukkan lafaz yang umum iaitu fi sabil Allah yang berfungsi mengumumkan makna tersebut iaitu merangkumi semua kebajikan untuk jalan Allah. Tetapi ayat yang bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi sabil Allah seperti hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim; sahih mengikut syarat Bukhari dan Muslim iaitu sabda Rasulullah : Tidak halal zakat bagi orang yang kaya kecuali lima golongan iaitu tentera berjihad pada jalan Allah….perkataan tentera berjihad pada jalan Allah mentakhsiskan umum makna fi sabil Allah dalam ayat zakat. Tidak ada pertentangan pendapat ulama yang berhujahkan dengan prinsip umum dalam takhsis al-‘am sama ada dengan dalil ‘aqli atau sam’i. (al-Ghazzali 1996 : 245).
2. Apabila berlawanan maksud dalam Quran dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan syarak maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Al-Ghazzali telah menyatakan bahawa pendapat yang terpilih adalah setiap definisi yang berkaitan dengan penyataan atau suruhan maka perlulah disesuaikan dengan makna syarak (al-Ghazzali 1996 : 190). Ini bermakna maksud fi sabil Allah dari segi syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah kerana perbahasan zakat merupakan perbahasan syarak bukan perbahasan bahasa.
3. Perkataan fi sabil Allah jika diperluaskan maknanya maka ini menyebabkan berlakunya fenomena pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada sifat yang sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabil Allah merangkumi semua amal kebaikan maka tidak perlu lagi Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah. Ini bermakna penetapan kelapan-lapan asnaf tersebut mempunyai tujuan dan hikmah iaitu mengkhususkan fi sabil Allah untuk tujuan jihad atau perang fi sabil Allah bukan sebaliknya. Ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kalimat امنإ yang bermaksud hanya iaitu lapan golongan itu sahajalah yang berhak menerima zakat. Sekiranya makna umum yang dimaksudkan, maka kalimah Innama itu juga tidak ada faedahnya disebutkan dan Allah Maha Suci daripada tuduhan-tuduhan seperti ini.
4. Kebanyakan ayat Quran dan hadis Rasulullah apabila membicarakan tentang fi sabil Allah merujuk kepada jihad atau perang fi sabil Allah sekiranya tidak ada qarinah yang memesongkan maknanya kecuali beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan makna umum fi sabil Allah disebabkan terdapat qarinah. Perkataan fi sabil Allah dalam ayat zakat tersebut mempunyai makna yang khusus disebabkan tidak terdapat qarinah yang dapat memesongkan maknanya.
5.Sekiranya pemberian zakat kepada mangsa bencana alam dikategorikan sebagai maslahah, adakah ia menepati prinsip maslahah yang sepatutnya? Tambahan pula mazhab Syafie (Syafi’iyy) tidak mengiktirafkan penggunaan maslahah dalam penghasilan hukum secara mutlak dan itulah yang hak (Al-Amidi 2000 : jil.4,919). Kalau dikatakan fenomena talfiq mazhab harus dipraktikkan maka adalah adil jika dilaksanakan juga pada semua aspek syariah tidak hanya bab zakat malah dalam bab-bab yang lain juga. Sekiranya dipraktikkan juga prinsip maslahah ini terhadap penyaluran zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam (setelah kajian terperinci menunjukkan bahawa Imam syafie juga mempraktikkan maslahah dengan nama penghujahan dengan asas-asas syariah yang umum serta menyeluruh) maka ia termasuk dalam perkara yang dinyatakan oleh Al-Ghazzali : “Setiap maslahah yang tidak menjuruskan kepada tujuan-tujuan syariat daripada Quran, Hadis dan Ijma’ tergolong dalam maslahah yang janggal yang tidak menepati kehendak syarak maka hukumnya batil dan tidak perlu dipratikkan. Sesiapa yang mempraktikkannya seolah-olah membuat syariat yang baru “(Al-Ghazzali 1996 : 179). Setelah diteliti hujah-hujah majoriti ulama jelaslah bahawa penyaluran zakat kepada mangsa bencana alam tidak menepati prinsip maslahah yang sebenar.
Kompromi
Pengagihan zakat yang telah, sedang dan akan dilakukan perlulah diteliti dengan penuh keinsafan. Pemberian zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam bukanlah tidak boleh disalurkan kepada mereka disebabkan mangsa bencana alam ini berbeza situasinya menurut individu. Contohnya pemberian zakat masih boleh diberikan kepada mereka melalui asnaf yang lain seperti mangsa yang mengalami kefakiran atau kemiskinan setelah ditimpa bencana alam tetapi bukan semua mangsa boleh dikategorikan sebagai fakir atau miskin. Begitu juga boleh disalurkan melalui asnaf gharimin tetapi kalau hanya sekadar penghutang kenapa dikhususkan kepada mangsa bencana alam sahaja sedangkan boleh dikatakan semua orang berhutang.
Kesimpulan
Rumusannya, majoriti ulama termasuklah mazhab yang empat mengkhususkan makna fi sabil Allah dengan makna jihad atau perang dan yang berkaitan dengannya. Hanya segelintir sahaja yang memperluaskan makna tersebut dengan hujah yang rapuh. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam memang jelas tidak terdapat dalam asnaf yang lapan yang disebutkan dalam Qur’an. Sebagai alternatifnya segala bantuan yang hendak disalurkan kepada mangsa-mangsa berkenaan bolehlah diambil daripada sumber-sumber kewangan yang lain selain zakat ataupun diteliti dan dibuat analisa sekiranya di antara mangsa-mangsa yang terbabit tergolong dalam asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah
VIII. Ibnus Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun
di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh
tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada
seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari
utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke
tanah airnya. Golongan ini bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus
bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang ke negerinya.
Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil
ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu
sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan.
Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan
tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah
madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang
sebenarnya.
Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan
terkait dengan Ibnu Sabil:
1- Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh
apa pun jarak perjalanannya, yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau
habisnya bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di negerinya.
2- Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
3- Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal,
perhatian dan penginapan, biaya perjalanan ke tempat yang dituju kemudian
pulang ke negerinya.
4- Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas
lenyapnya harta dan habisnya nafkah, kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan
hal itu.
5- Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau
memberinya hutang, dia juga tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.
6- Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya
dari harta zakat saat dia sudah tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih
baik baginya bila dia mengembalikan sisa tersebut bila dia adalah orang yang
berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.
7- Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan
syarat dan ketentuan di atas:
A- Jamaah haji dan umrah.
B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
C- Para da’i ke jalan Allah Ta’ala.
D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta’ala.
E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.
F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan informasi syar’i.
A- Jamaah haji dan umrah.
B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
C- Para da’i ke jalan Allah Ta’ala.
D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta’ala.
E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.
F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan informasi syar’i.
Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?
Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Yusuf
al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah
orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di
jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus
dari hartanya.
Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Umar al-Asyqar.
Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta,
sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.
Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja
Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu
atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya
tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau untuk mencari
pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang
keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka
tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:
1- Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka
mereka bukan ibnu sabil, karena ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.
2- Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan
mereka memiliki dua kemungkinan:
A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka
diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri
mereka.
B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk
belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka
untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka
diberi dari pos fakir dan miskin.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.