ZAKAT PROFESI
Banyak tulisan yang mengupas masalah
ZAKAT PROFESI.
Pada kesempatan ini kami coba tampilkan
2 tulisan mengenai ZAKAT PROFESI.
Penulis : Nashih Nasrullah
Yang dimuat
di Republika 4 Agustus 2011
Penulis : Buwaety, Ditjen Bimas Islam
Yang dimuat di Republika 5 Mei 2012
Kedua tulisan tersebut diatas cukup
jelas mengupas masalah Zakat Profesi.
Silahkan dipelajari, ambil manfaatnya,
kemudian jadikan dasar penuaian Zakat kita.
Semoga bermanfaat.
|
Zakat
Penghasilan atau Zakat Profesi, apa
Hukumnya.
Republika,
Sabtu, 04 Agustus 2011,
Oleh Nashih Nasrullah
|
Zakat adalah
salah satu rukun Islam yang utama. Instrumen penting yang kerap disandingkan
dengan perintah shalat dan memiliki banyak dimensi.
Zakat yang
secara bahasa berarti berkembang atau suci itu diberlakukan dengan
ketentuan-ketentuan tertentu. Mulai dari objek wajib zakat, kadar, batas
kewajiban, dan subjek pendistribusian zakat.
Satu di
antara persoalan zakat kontemporer ialah pelaksanaan zakat penghasilan atau
profesi. Baik penghasilan yang diperoleh secara rutin, seperti gaji karyawan
swasta, pejabat negara, maupun penghasilan tidak rutin, seperti dokter,
pengacara, konsultan, penceramah, dan sejenisnya, serta penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Prof Ballah
Al Hasan Umar Musa’id dalam makalahnya berjudul “Zakat Ar Rawatib wa Al ujur
wa Iradat Al Mihan Al Hurrat” mengatakan, permasalahan ini mengemuka karena
memicu rentetan pertanyaan. Persoalan paling mendasar ialah, ada atau
tidakkah legalitas perintah zakat jenis ini dalam tuntunan zakat yang
diajarkan Rasulullah?
Ballah lantas
menguraikan topik ini dalam karyanya yang dipublikasikan di Majalah
Universitas King Saud, Arab Saudi. Menurutnya, secara umum inti persoalannya
ialah ketiadaan dalil yang dengan tegas mewajibkan jenis zakat ini.
Karenanya,
praktik zakat profesi pun tidak didapati semasa Rasulullah. Pangkal perbedaan
kemudian juga timbul ketika menganalogikan (qiyas) jenis ini dengan zakat al
mal al mustafad.
Menurut
Ballah, terkait zakat profesi muncul opsi pandangan dari sejumlah pakar fikih
terkemuka. Syekh Muhammad Al-Ghazali berpendapat, zakat ini wajib
dikeluarkan. Argumentasinya merujuk pada Surah Al-Baqarah 267 yang berlaku
umum. Secara logika, bila seorang petani saja dibebankan berzakat, seyogianya
zakat profesi diwajibkan.
Pendapat
serupa juga disampaikan oleh deretan nama pakar tersohor, yakni Syekh
Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Zakat itu wajib dikeluarkan bila telah
mencapai haul (satu tahun) dan cukup nishab-nya (kadar wajib zakat).
Syekh Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya, Fiqh Az-Zakat, juga berpandangan sama.
Menurutnya, kewajiban zakat profesi bisa disejajarkan dengan hukum zakat al
mal al mustafad. Almarhum Prof Husain Syahatah, guru besar Fikih Universitas
Al-Azhar, Mesir, berpendapat sama.
Pendapat ini
juga diserap oleh Lembaga Fatwa Kerajaaan Arab Saudi pada 1392 H. Kongres
Zakat Internasional pertama yang digelar 1984 mufakat, zakat profesi wajib
hukumnya. Fatwa ini juga diadopsi di sejumlah negara, seperti Kuwait dan
Sudan.
Ballah juga
menyebut opsi pendapat ke dua. Hanya saja, tidak diketahui secara pasti ulama
kontemporer mana sajakah yang condong pada opsi terakhir ini, yaitu pendapat
yang menyatakan zakat jenis ini tak wajib dikeluarkan.
Prof Kautsar
Al-Abji dalam bukunya berjudul “Muhasabat Az Zakat wa Ad Dharaib fi Daulat Al
Imarat Al Arabiiyah”, sekadar mengisyaratkan opsi ini ada tanpa menyebut
pasti siapa. Beberapa argumentasi yang dijadikan dasar kelompok ini ialah
fakta bahwa jenis zakat tersebut tidak pernah dicontohkan pada zaman
Rasulullah.
Kedua, qiyas
terhadap zakat al mal mustafad dinilai tidak tepat. Di satu sisi,
pemberlakuan zakat ini nyaris sama dengan kosep pajak dalam sistem
konvensional. Dan, hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep Islam.
|
Nishab
Terkait batas
wajib kena zakat penghasilan, Ballah menuturkan muncul silang pendapat dari
kalangan yang mewajibkannya.
Opsi pertama
mengatakan nishabnya disamakan dengan zakat pertanian. Yaitu, bila
penghasilan yang bersangkutan mencapai 653 kg hasil bumi, telah wajib zakat.
Menurut
pendapat kedua, nishabnya sama dengan zakat harta kekayaan ialah sebesar 85
gram emas. Sedangkan pendapat yang kedua membedakan antara zakat profesi
rutin dan tidak rutin.
Untuk profesi
rutin, nishabnya 85 gram, sementara profesi tak rutin disamakan dengan zakat
pertanian, yaitu 653 kg. Namun, kata Ballah, ada hal yang penting diketahui.
Sejalan dengan pendapat Syekh Qaradhawi, zakat ini diambil dari penghasilan
netto. Artinya, penghasilan yang ia peroleh dikurangi dengan
kebutuhan-kebutuhan wajib sehari-hari atau tuntutan utang yang mendesak
dibayar.
|
MUI
Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada 2003, juga menyatakan hukum zakat
jenis ini ialah wajib. Ketentuannya selama penghasilan tersebut halal dan
telah mencapai nishab dalam satu tahun. Nishab yang dirujuk fatwa MUI ialah
85 gram emas.
Terkait
waktu, menurut fatwa ini zakat dapat dikeluarkan pada saat menerima jika
sudah cukup nishab. Bila belum mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan
selama satu tahun. Kemudian, zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya
telah cukup nishab. Sedangkan, kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5
persen.
|
Perspektif
Zakat Profesi
Ditulis oleh
Buwaety
Sabtu, 13 Jumadil
Akhir 1433
05 Mei 2012 06:29
|
|||
Zakat profesi sebelumnya
tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas dalam khasanah keilmuan Islam,
berbeda dengan zakat yang sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan
perdagangan. sedangkan hasil profesi berupa harta dapat dikategorikan ke
dalam zakat harta (mal/kekayaan). Oleh sebab itu, hasil profesi seseorang
apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk
menunaikan zakat.
Lebih jauh Amien Rais
telah menuangkan gagasan zakat profesi dalam tulisannya berjudul ”memikirkan
kembali kewajiban zakat” dalam bukunya Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta
(1999:58-65). Selengkapnya adalah: ”Yang saya persoalkan adalah zakat untuk
profesi, yang mendatangkan riski dengan gampang dan cukup melimpah,
setidak-tidaknya dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk. Jadi gugatan
saya agar persentase zakat yang 2,5 persen itu ditinjau lagi dan kalau perlu
ditingkatkan – katakanlah sampai 10 persen (’usyur) atau 20 persen (khumus) –
bukan saya tujukan untuk semua penghasilan untuk semua profesi, melainkan
khusus untuk profesi yang mudah mengatangkan rizki...profesi yang dapat
mendatangkan rizki secara gampang dan melimpah dewasa ini jumlahnya, seperti
misalnya komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analis, broker, dokter
sepesialis, akuntan, notaris, artis, dan pelbagai penjual jasa serta
macam-macam profesi ”kantoran” (white collar) lainnya”. Zakat ini bersumber
pendapatan dari profesi (keahlian tertentu) tidak banyak dikenal di masa
generasi terdahulu. Oleh sebab itu, uraian dan bahasan zakat profesi tidak
dapat dijumpai dalam literature terdahulu secara mendetil seperti uraian dan
pembahasan zakat-zakat lainnya. Namun dalam kehidupan sekarang sudah banyak
bermunculan profesi/keahlian yang sangat mudah untuk mendapatkan penghasilan
yang melebihi penghasilan pedagang atau petani, maka tidak berarti pendapatan
dari hasil profesi (dokter, akuntan, konsultan, pengacara, interprener dan
yang sejensinya) terbebas dari zakat.
Karena zakat
itu, pada hakekatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki
kelebihan harta dari kebutuhan pokok (basic need) hidup (sandang, pangan,
papan, pendidikan dan kesehatan) untuk diberikan kepada golongan yang
membutuhkan (mustahik). Sebagai referensi zakat profesi telah dijelaskan:
|
|||
1
|
Al Qur’an
menguraikan dalam surat Al Baqarah ayat 267: "Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"
|
||
2
|
Al Qur’an
surat Adz Dzariyat 19: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian”
|
||
3
|
Hadist Nabi
SAW: “Apabila zakat bercampur dengan harta lainnya, maka zakat akan merusak
harta itu”. (HR. Al Bazar dan Al Baehaqi)
|
||
Para ulama
yang mewajibkan zakat profesi berbeda pendapat waktu pengeluaran/pembayaran
zakat profesi antara lain:
|
|||
1
|
Abu Hanifah,
Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkan
haul, akan tetapi terhitung sejak awal dan akhir harta itu diperoleh
(umpamanya Januari sd Desember), maka pada masa setahun tersebut harta
diakumulasikan, jika sudah sampai pada batas minimal (nisab) maka wajib
mengeluarkan zakat.
|
||
2
|
Menurut
As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup satu tahun), terhitung
sejak harta diperoleh.
|
||
3
|
Ibnu Abbas,
Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak
mensyaratkan haul (sudah cukup satu tahun), tetapi zakat dikeluarkan langsung
pada saat mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan zakat profesi ini
dengan zakat pertanian yang dibayarkan zakatnya pada setiap waktu panen.
|
||
Nisab zakat
pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan
buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras
yang dikeluarkan setiap panen setelah mencapai nisabnya dengan kadar yang
diqiyaskan kepada zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan
kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah: “Bila engkau
memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah
dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Menurut Yusuf
Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
|
|||
1
|
Secara langsung,
zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor secara langsung, baik
dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka
yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Jika seseorang profesi menghasilkan
dalam satu tahun mencapai batas minimal (nisab) yang disetarakan dengan harga
85 gram emas (sesuai harga emas dipasaran setempat).
|
||
2
|
Setelah dipotong
dengan kebutuhan pokok (sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan
serta biaya operasinal ketika menjalankan profesinya), maka zakat dihitung
2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil
diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan dengan pemahaman
berapapun sisanya wajib dizakati.
|
||
Menurut hemat
penulis, jika setelah dipotong dengan kebutuhan pokok (sandang, papan,
pangan, pendidikan dan kesehatan) masih ada sisa setara dengan harga 85 gram
emas, maka zakat dihitung 2,5%. Dan jika setelah dipotong kebutuhan pokok
masih ada sisa, namun tidak setara dengan harga 85 gram emas, maka baginya
tidak wajib zakat.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa zakat profesi memang tidak dikenal dalam
khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat
dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Oleh sebab, hasil
profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka baginya
wajib menunaikan zakatnya.
Diambil dari berbagai
sumber, semoga bermanfaat.
|