Saturday, March 23, 2013

ZAKAT PROFESI




ZAKAT  PROFESI


Banyak tulisan yang mengupas masalah ZAKAT PROFESI.
Pada kesempatan ini kami coba tampilkan 2 tulisan mengenai ZAKAT PROFESI.
  1. Judul : Zakat Penghasilan dan Zakat Profesi
Penulis : Nashih Nasrullah
Yang dimuat di Republika 4 Agustus 2011
  1. Judul : Prespektif Zakat Profesi
Penulis : Buwaety, Ditjen Bimas Islam
Yang dimuat di Republika 5 Mei 2012

Kedua tulisan tersebut diatas cukup jelas mengupas masalah Zakat Profesi.
Silahkan dipelajari, ambil manfaatnya, kemudian jadikan dasar penuaian Zakat kita.
Semoga bermanfaat.



Zakat Penghasilan  atau Zakat Profesi, apa Hukumnya.
Republika, Sabtu, 04 Agustus 2011,
Oleh Nashih Nasrullah
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang utama. Instrumen penting yang kerap disandingkan dengan perintah shalat dan memiliki banyak dimensi.
Zakat yang secara bahasa berarti berkembang atau suci itu diberlakukan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Mulai dari objek wajib zakat, kadar, batas kewajiban, dan subjek pendistribusian zakat.
Satu di antara persoalan zakat kontemporer ialah pelaksanaan zakat penghasilan atau profesi. Baik penghasilan yang diperoleh secara rutin, seperti gaji karyawan swasta, pejabat negara, maupun penghasilan tidak rutin, seperti dokter, pengacara, konsultan, penceramah, dan sejenisnya, serta penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Prof Ballah Al Hasan Umar Musa’id dalam makalahnya berjudul “Zakat Ar Rawatib wa Al ujur wa Iradat Al Mihan Al Hurrat” mengatakan, permasalahan ini mengemuka karena memicu rentetan pertanyaan. Persoalan paling mendasar ialah, ada atau tidakkah legalitas perintah zakat jenis ini dalam tuntunan zakat yang diajarkan Rasulullah?
Ballah lantas menguraikan topik ini dalam karyanya yang dipublikasikan di Majalah Universitas King Saud, Arab Saudi. Menurutnya, secara umum inti persoalannya ialah ketiadaan dalil yang dengan tegas mewajibkan jenis zakat ini.
Karenanya, praktik zakat profesi pun tidak didapati semasa Rasulullah. Pangkal perbedaan kemudian juga timbul ketika menganalogikan (qiyas) jenis ini dengan zakat al mal al mustafad.
Menurut Ballah, terkait zakat profesi muncul opsi pandangan dari sejumlah pakar fikih terkemuka. Syekh Muhammad Al-Ghazali berpendapat, zakat ini wajib dikeluarkan. Argumentasinya merujuk pada Surah Al-Baqarah 267 yang berlaku umum. Secara logika, bila seorang petani saja dibebankan berzakat, seyogianya zakat profesi diwajibkan.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh deretan nama pakar tersohor, yakni Syekh Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf.  Zakat itu wajib dikeluarkan bila telah mencapai haul (satu tahun) dan cukup nishab-nya (kadar wajib zakat).
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya, Fiqh Az-Zakat, juga berpandangan sama. Menurutnya, kewajiban zakat profesi bisa disejajarkan dengan hukum zakat al mal al mustafad. Almarhum Prof Husain Syahatah, guru besar Fikih Universitas Al-Azhar, Mesir, berpendapat sama.
Pendapat ini juga diserap oleh Lembaga Fatwa Kerajaaan Arab Saudi pada 1392 H. Kongres Zakat Internasional pertama yang digelar 1984 mufakat, zakat profesi wajib hukumnya. Fatwa ini juga diadopsi di sejumlah negara, seperti Kuwait dan Sudan.
Ballah juga menyebut opsi pendapat ke dua. Hanya saja, tidak diketahui secara pasti ulama kontemporer mana sajakah yang condong pada opsi terakhir ini, yaitu pendapat yang menyatakan zakat jenis ini tak wajib dikeluarkan.
Prof Kautsar Al-Abji dalam bukunya berjudul “Muhasabat Az Zakat wa Ad Dharaib fi Daulat Al Imarat Al Arabiiyah”, sekadar mengisyaratkan opsi ini ada tanpa menyebut pasti siapa. Beberapa argumentasi yang dijadikan dasar kelompok ini ialah fakta bahwa jenis zakat tersebut tidak pernah dicontohkan pada zaman Rasulullah.
Kedua, qiyas terhadap zakat al mal mustafad dinilai tidak tepat. Di satu sisi, pemberlakuan zakat ini nyaris sama dengan kosep pajak dalam sistem konvensional. Dan, hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep Islam.
Nishab
Terkait batas wajib kena zakat penghasilan, Ballah menuturkan muncul silang pendapat dari kalangan yang mewajibkannya.
Opsi pertama mengatakan nishabnya disamakan dengan zakat pertanian. Yaitu, bila penghasilan yang bersangkutan mencapai 653 kg hasil bumi, telah wajib zakat.
Menurut pendapat kedua, nishabnya sama dengan zakat harta kekayaan ialah sebesar 85 gram emas. Sedangkan pendapat yang kedua membedakan antara zakat profesi rutin dan tidak rutin.
Untuk profesi rutin, nishabnya 85 gram, sementara profesi tak rutin disamakan dengan zakat pertanian, yaitu 653 kg. Namun, kata Ballah, ada hal yang penting diketahui. Sejalan dengan pendapat Syekh Qaradhawi, zakat ini diambil dari penghasilan netto. Artinya, penghasilan yang ia peroleh dikurangi dengan kebutuhan-kebutuhan wajib sehari-hari atau tuntutan utang yang mendesak dibayar.
MUI
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada 2003, juga menyatakan hukum zakat jenis ini ialah wajib. Ketentuannya selama penghasilan tersebut halal dan telah mencapai nishab dalam satu tahun. Nishab yang dirujuk fatwa MUI ialah 85 gram emas.
Terkait waktu, menurut fatwa ini zakat dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Bila belum mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun. Kemudian, zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya telah cukup nishab. Sedangkan, kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen.




Perspektif Zakat Profesi
Ditulis oleh Buwaety
Sabtu, 13 Jumadil Akhir 1433
05 Mei 2012 06:29
Zakat profesi sebelumnya tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas dalam khasanah keilmuan Islam, berbeda dengan zakat yang sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan. sedangkan hasil profesi berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (mal/kekayaan). Oleh sebab itu, hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Lebih jauh Amien Rais telah menuangkan gagasan zakat profesi dalam tulisannya berjudul ”memikirkan kembali kewajiban zakat” dalam bukunya Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (1999:58-65). Selengkapnya adalah: ”Yang saya persoalkan adalah zakat untuk profesi, yang mendatangkan riski dengan gampang dan cukup melimpah, setidak-tidaknya dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk. Jadi gugatan saya agar persentase zakat yang 2,5 persen itu ditinjau lagi dan kalau perlu ditingkatkan – katakanlah sampai 10 persen (’usyur) atau 20 persen (khumus) – bukan saya tujukan untuk semua penghasilan untuk semua profesi, melainkan khusus untuk profesi yang mudah mengatangkan rizki...profesi yang dapat mendatangkan rizki secara gampang dan melimpah dewasa ini jumlahnya, seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analis, broker, dokter sepesialis, akuntan, notaris, artis, dan pelbagai penjual jasa serta macam-macam profesi ”kantoran” (white collar) lainnya”. Zakat ini bersumber pendapatan dari profesi (keahlian tertentu) tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh sebab itu, uraian dan bahasan zakat profesi tidak dapat dijumpai dalam literature terdahulu secara mendetil seperti uraian dan pembahasan zakat-zakat lainnya. Namun dalam kehidupan sekarang sudah banyak bermunculan profesi/keahlian yang sangat mudah untuk mendapatkan penghasilan yang melebihi penghasilan pedagang atau petani, maka tidak berarti pendapatan dari hasil profesi (dokter, akuntan, konsultan, pengacara, interprener dan yang sejensinya) terbebas dari zakat.
Karena zakat itu, pada hakekatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta dari kebutuhan pokok (basic need) hidup (sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan (mustahik). Sebagai referensi zakat profesi telah dijelaskan:

1
Al Qur’an menguraikan dalam surat Al Baqarah ayat 267: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"


2
Al Qur’an surat Adz Dzariyat 19: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian”


3
Hadist Nabi SAW: “Apabila zakat bercampur dengan harta lainnya, maka zakat akan merusak harta itu”. (HR. Al Bazar dan Al Baehaqi)

Para ulama yang mewajibkan zakat profesi berbeda pendapat waktu pengeluaran/pembayaran zakat profesi antara lain:

1
Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkan haul, akan tetapi terhitung sejak awal dan akhir harta itu diperoleh (umpamanya Januari sd Desember), maka pada masa setahun tersebut harta diakumulasikan, jika sudah sampai pada batas minimal (nisab) maka wajib mengeluarkan zakat.


2
Menurut As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup satu tahun), terhitung sejak harta diperoleh.


3
Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul (sudah cukup satu tahun), tetapi zakat dikeluarkan langsung pada saat mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan zakat profesi ini dengan zakat pertanian yang dibayarkan zakatnya pada setiap waktu panen.

Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras yang dikeluarkan setiap panen setelah mencapai nisabnya dengan kadar yang diqiyaskan kepada zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah: “Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:

1
Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor secara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Jika seseorang profesi menghasilkan dalam satu tahun mencapai batas minimal (nisab) yang disetarakan dengan harga 85 gram emas (sesuai harga emas dipasaran setempat).


2
Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok (sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan serta biaya operasinal ketika menjalankan profesinya), maka zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan dengan pemahaman berapapun sisanya wajib dizakati.

Menurut hemat penulis, jika setelah dipotong dengan kebutuhan pokok (sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan) masih ada sisa setara dengan harga 85 gram emas, maka zakat dihitung 2,5%. Dan jika setelah dipotong kebutuhan pokok masih ada sisa, namun tidak setara dengan harga 85 gram emas, maka baginya tidak wajib zakat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Oleh sebab, hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka baginya wajib menunaikan zakatnya.
Diambil dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment